Oleh: Muhaimin Iqbal
KETIKA Presiden Nixon mengumumkan
pengingkaran Breton Woods Agreement 15 Agustus 1971, saat itu harga big
burger di Amerika dan Eropa berkisar antara 15 – 25 cent Dollar dan
harga kambing qurban yang baik di Indonesia berada di kisaran Rp 2,300.
Kini 40 tahun kemudian harga big burger dalam kisaran US$ 4.5 – US$ 7.2
di Amerika dan di Eropa, sedangkan harga kambing qurban yang baik di
kisaran Rp 1.6 juta.
Dalam rentang 40 tahun bila dibeli
dengan Dollar harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan sekitar 30 kali
di Amerika dan Eropa, sedangkan di Indonesia kita mengalami kenaikan
harga dalam Rupiah di kisaran 700 kali dalam rentang waktu yang sama.
Untuk US$ persamaan tersebut memberikan
tingkat akurasi yang diwakili oleh angka R2 sekitar 71 %. Tidak terlalu
akurat memang, tetapi paling tidak kita ada gambaran seperti apa rentang
usia US$ ini nantinya. Untuk Rupiah R2 ini mendekati angka 90% artinya
relatif akurat untuk mengatakan bahwa grafik penurunan daya beli Rupiah
mengikuti formula yang dihasilkan oleh model ini yaitu y =
407.83x-1.8399. (lihat grafik 2 pada foto)
Meskipun dengan tingkat akurasi yang
berbeda, persamaan pangkat negatif yang paling memungkinkan baik di US$
maupun Rupiah ini keduanya memberikan grafik yang disebut grafik long
tail. Angkanya bisa sangat rendah untuk periode yang begitu panjang,
tetapi grafiknya sendiri tidak pernah menyentuh angka nol. Dengan
demikian secara matematis, baik US$ maupun Rupiah memang tidak sedang
menuju angka kematiannya.
Hanya saja karena nilai daya beli yang
begitu rendah, dari waktu ke waktu pemerintahan di negara yang uangnya
terus menuju titik nol tetapi tidak pernah sampai titik nol ini – harus
berani melakukan tindakan yang tidak popular seperti redenominasi atau
bahkan sanering.
Masalah redenominasi ini seperti bom
waktu, cepat atau lambat harus ada yang berani tidak popular
melakukannya. Kalau seandainya saya yang harus memutuskan, maka akan
saya lakukan sekarang-sekarang ini. Mumpung Rupiah lagi perkasa sekali
dan mumpung pemerintah yang berkuasa sudah berada di periode kedua,
artinya tidak terlalu perlu menjaga popularitas – karena toh tidak akan
mencalonkan lagi. Dengan demikian juga pemerintah yang sekarang ikut
memperpanjang usia uang kertas kita sekaligus memudahkan penataan
ekonomi dan moneter negeri ini untuk pemerintahan selanjutnya.
Bayangkan seandainya tahun 1965 tidak
ada yang mau mengambil keputusan sanering, begitu seterusnya
pemerintahan berganti tanpa ada yang mengambil langkah sanering ataupun
redenominsai, maka sampai sekarang uang Rp 1,000 kita akan berangka Rp
1,000,000,-. Inilah cerminan daya beli yang menuju ke angka nol tetapi
tidak pernah sampai angka nol yang terwakili oleh persamaan-persamaan
matematika tersebut diatas. Wa Allahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your Comment. Thanks