Mbok Kasiyah membuat gulali di rumah sederhananya. |
Belum genap matahari menampakkan wajahnya pagi itu, tapi kesibukan di sebuah rumah dari bambu berukuran 3 x 4 meter di Dusun Lidan sudah terlihat dari luar. Tungku api berbahan bakar kayu nampak menyala dari dalam rumah dengan banyak lubang yang hanya memiliki satu sekat sebagai pembatas kamar dan dapur.
Rumah yang lebih layak di sebut gubuk itu adalah tempat tinggal Kasiyah bersama anak angkatnya, Tuminah. Sejak berpuluh tahun silam, keduanya tinggal berdua dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Pagi buta sebelum matarahi terbit, Kasiyah harus beranjak dari tidurnya untuk memulai aktivitas membuat gulali.
Gula, kunyit, kelapa dan beberapa bahan telah disiapkan sejak malam menjelang tidur. Pagi harinya, Kasiyah memulai pembuatan gulali dengan merebus gula dengan air kunyit dan kelapa yang sudah di iris kecil-kecil sampai mendidih hingga berubah bentuknya menjadi seperti lem. Adonan itu terus diaduk agar pematangan merata. Setelah mengental atau lengket, mulailah proses penuangan di sebuah loyang dari kayu.
Setelah didiamkan selama dua jam, gulali bikinan Kasiyah siap dijajankan. Tapi, perjuangan nenek 75 tahun ini belum berhenti. Tubuh ringkih yang sudah membungkuk itu harus berkeliling dari kampung satu ke kampong lainnya untuk menjajakan gulali yang telah dibuatnya.
Sambil menggendong dagangannya, Mbah Kasiyah harus berjalanan kaki puluhan kilometer supaya dagangannya laku dan dirinya mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Rata-rata, ia baru kembali pulang saat matahari mulai meredup di ujung barat.
“Kalau jaman dulu, tidak sampai lama gulali se Loyang bisa langsung habis. Tapi sekarang ini sulit sekali laku. Anak-anak sudah jarang yang suka jajan gulali,” ujar Kasiyah saat ditemui di rumahnya yang sangat sederhana itu.
Satu tusuk gulali bikinan Kasiyah hanya dijual Rp 500. Dan kalau satu Loyang gulali yang dibuatnya itu habis, nenek yang rambutnya sudah penuh uban ini hanya mendapatkan untung sekitar Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Jelas sangat sedikit jika dibandingkan kerja kerasa yang harus dilakukannya mulai membuat hingga berjalan keliling kampung menempuh
puluhan kilometer itu.
Tapi apa boleh buat, tidak ada pilihan lain bagi Kasiyah untuk mendapatkan rizki guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Uang hasil berjualan sehari digunakan untuk membeli sejumlah bahan, dan sisanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. “Sejak masih muda, saya sudah berjualan gulali. Dan hanya ini usaha yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan uang supaya bisa tetap makan,” ungkap wanita renta yang tidak pernah mengeluh dan selalu berusaha mandiri untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Tentang kisah hidupnya, Kasiyah bercerita bahwa dirinya pernah empat kali menikah. Pernikahan pertama gagal dengan perceraian, sedangkan tiga lelaki berikutnya yang menikahinya semuanya telah meninggal dunia. Namun, empat pernikahan itu tidak satupun dikaruniai anak.
Sampai memasuki usai senja, dirinya merasa kesepian. Hingga akhirnya, Kasiyah mengadopsi seorang bayi wanita dari tetangganya yang mengalami kebutaan sejak lahir. Bayi bernama Tuminah itu terus dirawatnya penuh kasih sayang hingga sekarang memasuki usianya yang ke 30 tahun. “Dia ini anak angkat. Tapi, sudah terasa seperti anak kandung sendiri
karena sejak lahir sudah ikut dengan saya,” ujarnya.
Saban hari, Tuminah hanya berada di rumah sambil sesekali membantu kesibukan ibu angkatnya. Bahkan, Tuminah yang buta itu juga sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan lantaran keterbatasan ekonomi Kasiyah. Namun, kasih sayang Kasiyah seperti sudah cukup untuk mengisi hari-hari Tuminah. Segala usaha yang dilakoni Kasiyah sejak pagi buta hingga sore itu, semua demi mencukupi kebutuhan hidup bersama anaknya yang buta.
Sesekali, Kasiyah berpikir tentang masa depan Timunah jika ditinggal olehnya yang sudah senja. “Saya sangat berharap ada orang yang mau peduli dan merawatan anak saya ini setelah saya tidak mampu lagi untuk bekerja. Saya sudah tua, tidak mungkin bisa kuat terus berjualan seperti ini,” keluhnya.
Tentang Hari Ibu, Kasiyah maupun Tuminah sama-sama tidak tahu dan seperti tidak peduli. Maklum, bagi mereka tidak ada yang lebih penting daripada terus berusaha dan bekerja keras untuk mencukupi hidup supaya tidak merepotkan orang lain. Tapi, kasih sayang yang dicurahkan Kasiyah kepada anak angkatnya itu benar-benar luar biasa. Ia seperti telah memilih untuk mengabdikan semua jiwa raganya demi kebahagiaan Tuminah. (surya)
Semoga pemerintah daerah Tuban memperhatikan nasib warganya seperti ini.
BalasHapusLuar biasa perjuangan hidup dengan langkah kesederhanaan
BalasHapus