Pada waktu Prabu Brawijaya ke VII atau Ongkowijoyo VII bertahta selaku raja di Majapahit, (raja-raja yang dahulu juga dinamakan Brawijaya), Tuban jadi andalan Majapahit. Prabu Brawijaya kawin dengan Dwarmawati Putri Prabu Campa, suatu kerajaan di Kamboja. Pada waktu Brawijaya memerintah di Majapahit. Tuban merupakan bawahan dari padanya, di daerah Tuban berkuasa berturut-turut para Bupati, Aryo Randu Kuning, Aryo Bangah, Aryo Dandang Miring, Aryo Dandang Wacono, Aryo Ronggolawe, Aryo Sirolawe, Aryo Wenang, Aryo Leno, dan Aryo Dikoro, yang menurut sejarah memerintah sejak tahun 1200 hingga datangnya agama Islam ditanah Jawa pada permulaan abad ke XV.
Pada waktu Brawijaya (Wikramawardhana) memerintah, datanglah para penyiar agama Islam ditanah Jawa. Mereka adalah :
1. Maulana Malik Ibrahim menetap di Laren (kurang lebih 6 pal dari Gresik). Wafat tahun 1419 dan dimakamkan di Gresik.
2. Raden Rahmat anak dari Raja Campa (putri lain dari Raja Campa yaitu Dwarmawati kawin dengan Brawijaya, dengan demikian pernah paman R. Rahmat) Raden Rahmat menetap di Ampel (Surabaya) (dan mendapatkan nama Sunan Ngampel). Wafat tahun 1467 dan dimakamkan di Ngampel.
3. Pangeran Paku, anak dari Putri Blambangan (dekat Banyuwangi) dan menetap di Giri. Wafat pada tahun 1483 dan dimakamkan di Giri.
4. Mahdum Ibrahim, Putra Raden Rahmat (Sunan Ngampel) menetap di Bonang (dekat Lasem) dan dinamakan Sunan Bonang. Dari Desa Pantai Bonang, beliau memperluas agama Islam kejurusan Tuban. Dapat dipercaya, sejarah yang menjelaskan bahwa beliau datang dari Tuban : Ibunya Ageng Manilo, kakak perempuannya Nyai Ageng Manyuro (Putri dari Sunan Ngampel) dan murid-murid lainnya lagi banyak dimakamkan di Tuban.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1486 dan dimakamkan di Bonang. Akan tetapi selanjutnya dipindah dimakamkan dalam Kota Tuban. Di dalam keterangan Dr. D.J.C. Schrieke, Sunang Bonang tidak disebut sebagai orang Islam yang pertama, tetapi sebagai imam (jauh sebelum beliau di Tuban telah ada orang-orang yang telah memeluk agama Islam). Ini dapat dibuktikan, dimana para Bupati Tuban, mulai Bupati Arjo Tejo, pada tahun 1460 telah memeluk agama Islam.
5. Sunan Drajat (masih Moenat) putra ke II dari Sunan Ngampel, menetap di Drajat (dekat Sedayu).
6. Sunan Kalijogo (R.M. Sahit) Putra Wilotikto Bupati Tuban dan kemenakan Sunan Bonang, menetap di Kalijogo dan dengan demikian dinamakan Sunan Kalijogo.
7. Syeh Nurudin Ibrahim Ibn Maulana Israel atau secara singkat dinamakan Syeh Ibn Maulana, menetap di Gunung Jati (dekat Cirebon) dan demikian dinamakan Sunan Gunung Jati.
Brawijaya VII Raja Majapahit, melepaskan demi permintaan Permaisuri Dwarawati, salah seorang selir, yang telah hamil. Beliau menghadiahkannya kepada putranya Aryo Damar, yang menetap di Palembang. Disana istri tersebut (Dewi Kiyan, dari Tiongkok) melahirkan seorang putra yang dinamakan Raden Patah. Aryo Damar sendiri dengan Dewi Kiyan tersebut mempunyai seorang putra yang dinamakan Raden Kusen. Maka Raden Patah dan Raden Kusen adalah dua orang bersaudara, mempunyai ibu yang sama : yang pertama putra cucu Brawijaya, sedang yang kedua putra dari Aryo Damar.
Atas permintaan Aryo Damar, Raden Kusen pergi ke Majapahit untuk tinggal menetap pada neneknya Brawijaya. Akan tetapi Raden Patah membenci ayahnya Brawijaya, karena beliau melepas ibunya.
Raden Patah kawin dengan cucu Sunan Ngampel dan menetap di Bintoro (Demak). Brawijaya mengirim seorang utusan kesana untuk memanggil putranya datang ke Majapahit. Suatu siasat dari Brawijaya melunakkan anaknya dari kebencian yang telah dikandungnya, ialah dengan mengangkat Raden Patah sebagai Bupati Bintoro.
1460 pada waktu Sunan Ngampel wafat, Raden Patah minta bantuan pada para penyiar agama Islam, yaitu Sunan Giri,
Sunan Drajat, Sunan Ngundung dari Kudus, untuk bersama-sama memerangi Brawijaya, yang dipimpin oleh Panglima Raden Kusen yang tetap setia kepada Prabu Majapahit, neneknya.
Tuban yang semula daerah bawahan dari Majapahit, pada waktu perangnya agama Islam dengan agama Hindhu, memihak R. Patah. Pada waktu itu Syeh Abdurahman, yang juga disebut Aryo Tejo, merupakan bawahan dari Majapahit.
Brumund mengatakan, bahwa memeluk agama Islam sepanjang pantai utara Pulau Jawa, lebih-lebih yang menetap di Jawa Tengah, dapat melebarkan daerah pemeluk agama Islam dan menggabung dengan Kerajaan Demak.
Dari peperangan yang berlangsung lama sekali. Tidak banyak diketahui orang. Hanya diketahui bahwa R. Kusen panglima dari angkatan perang Majapahit berhasil menghancurkan Tentara Islam yang panglimanya adalah Sunan Ngundung dari Kudus.
Diantara mereka yang setelah peperangan lari menuju barat sepanjang pantai, antara lain terdapat Maulana Iskak, dari kakak Sunan Ngampel. Maulana Iskak lari ke Gresik (lebih kurang 5 pal dari Tuban), yang kemudian dikejar oleh Angkatan Perang Majapahit di bawah Pimpinan Pati Barat Ketigo, yang kemudian di Gresik mengulangi perang kembali. Tetapi dapat dipukul mundur karena kekuatan yang gaib, dari kalam Maulana Iskak. 1478 Patah menaklukkan Majapahit dan membawa segala kekayaan dari keraton ke Demak. Para pribumi dari Tuban dapat menjelaskan bahwa “Watu tiban” yang letaknya dibelakang kantor pemerintahan daerah yang sekarang, dan barang lainnya yang sekarang berada di makam Sunan Bonang, setelah jatuhnya Majapahit, oleh Sunan Bonang dari Majapahit dibawa ke Tuban.
Mengenai nasib Prabu Brawijaya tersiar banyak dongengan-dongengan. Sementara orang mengatakan bahwa beliau gugur di Majapahit atau bunuh diri : orang lain lagi mengatakan bahwa beliau lari ke Blambangan atau Pulau Bali, sedang cucunya yang tetap setia padanya lari ke Terung (Sidoarjo).
Diketahui oleh para pribumi di Tuban, bahwa Prabu Brawijaya ini akhirnya dimakamkan di atas angin, Desa Kedong Ombo dekat ibukota Tuban. Setelah beliau akhirnya pergi lari ke Blambangan atau Pulau Bali, R. Patah meminta Sunan Kalijaga datang kepada Prabu Brawijaya agar raja ini bersedia datang ke Demak yang akan diterima baik oleh putranya ialah Raden Patah. Sunan Kalijaga telah dapat menemui Prabu Brawijaya yang kalah dalam peperangan itu dan dapat berhasil mempengaruhi Prabu Brawijaya yang beralih memeluk agama Islam. Kemudian mereka melalui laut bersama-sama pergi ke Tuban.
Di atas angin dekat Tuban pada waktu itu telah menetap Raden Margono, Putra Prabu Siliwangi Raja Pajajaran telah memeluk agama Islam, yang oleh karenanya diusir ayahnya. Raden Margono kawin dengan Nyai Ageng Junun, putri dari Nyai Ageng Manyuro (putri dari Sunan Ampel dan kakak dari Sunan Bonang).
Di dalam hutan lebat yang kemudian menutup daerah atas angin, menetaplah Prabu Brawijaya yang telah didalam peperangan dan lari itu. Sekalipun beliau memeluk agama Islam, beliau tidak bersedia pergi ke Demak untuk menemui putrannya R. Patah, yang pernah menghancurkan beliau dalam peperangan dan sekarang mungkin karena menyesal ingin menjumpai ayahnya kembali dan menolongnya.
Nasib Prabu Majapahit ini akhirnya sangat menyedihkan, yang menyelesaikan hari-hari akhirnya sampai wafat di dalam tempat pembuangan selaku seorang pertapa dekat Tuban. Rumah dari bambu dan meratap sirap adalah merupakan penutup makamnya (sekarang sudah diperbaiki). Pada tahun 1478 setelah Majapahit jatuh Raden Patah menjadi Raja Demak dengan nama Panembahan Jimbun. Pada waktu itu Tuban menjadi bawahannya.
1490 R. Patah Raja Demak wafat dan diganti oleh putranya Pangeran Sabrang Lor yang wafat pada tahun 1493 dan diganti oleh putranya atau saudara dari R. Patah, yaitu Pangeran Trenggono, beliau ini menjadi raja di Demak sampai pada tahun 1539. Dalam catatan Groeneveldt mengenai Kepulauan Malaya dan Malaka tertulis pada tahun 1416 ada seorang musyafir bangsa Tiongkok yang menyatakan : Pulau Jawa dahulunya namanya Japa, ini mempunyai 4 kota kesemuanya dengan tembok-temboknya tinggi. Kapal-kapal dari negara-negara lain yang datang di Pulau Jawa pertama-tama singgah di Ts’ets’un (Kota Gresik), kemudian di Surabaya, Tuban dan akhirnya di tempat yang dinamakan Majapahit, dimana bersemayam seorang raja.
Seorang ahli sejarah Dr. B.J.O. Schrieke di dalam skiripsinya yang dinamakan, “buku mengenai Sunan Bonang” yang dipetik dari Pararaton menjelaskan, bahwa Tuban pada abad XIII telah dikenal sebagai pelabuhan di Jawa Timur. Bahkan sejarah Tuban ini adalah sudah dikenal jauh sebelumnya, dimana dapat dibuktikan di Tuban telah diketemukan batu yang ada tulisannya. Ini adalah suatu prasasti, demikian kata Dr. Schrieke tersebut, sebagai bukti bahwa Tuban umurnya telah berabad-abad. Soal yang layak diberitakan, bahwa ada suatu kelonggaran-kelonggaran yang diberikan oleh raja dalam bidang perdagangan melalui laut, yang cap negaranya adalah Garuda Mukha.
Kemudian dijelaskan bahwa hanya ada dua orang raya yang menggunakan cap Garuda Mukha tersebut ialah :
1. Raja Kediri tahun 1136. Dapat disangkal bahwa tulisan pada batu berasal daripada Raja Kediri ini, karena Kerajaan Kediri tidak pernah mempunyai wilayah seutara itu.
2. Tidak ada lain daripada Prabu Airlangga sendiri, raja dari Jawa Timur. Dengan demikian batu tersebut sudah ada pada waktu pertengahan abad ke II.
Dari catatan-catatan dihimpun oleh bangsa Portugis yang pergi menjelajah lautan, ternyata bahwa pada tahun 1513 Tuban telah diketahui oleh orang-orang Portugal Antonio d’Abreu berlayar pada tahun 1513 sepanjang pantai utara Pulau Jawa sedang seorang pedagang yang bernama Nakhoda Ismail oleh d’Albuquerque dari Malaka ditugaskan berlayar, tetapi dekat Tuban kapalnya pecah. Pada waktu itu Tuban dikatakan wilayah dari “Sanguedepaten dama” (sang Adipati Demak, dari Raja Demak waktu itu Pangeran Trenggono).
1521 Antonio de Brito diperintahkan oleh Raja Portugal berlayar dan datang di Tuban dan Gresik.
Jaka Tingkir mempunyai peranan penting dalam sejarah Jawa kuno yang ayahnya pada waktu itu Bupati Pengging (dekat Sala sekarang) yang atas perintah Raden Patah dibunuh karena tidak suka mengakui Raden Patah selaku Raja Demak.
Pangeran Trenggono menyayangi Joko Tingkir tersebut, memberikan putrinya untuk diperisterikan, menghadiahkan nama Panji Mas, dan mengangkatnya sebagai Bupati Pajang dari Mataram (wilayah Jawa Tengah).
1539 Pangeran Tranggono wafat. Daerah Demak dibagi Pajang dan Mataram ada di bawah Jaka Tingkir, Panji Mas. Anak tertua dari Pangeran Trenggono mendapat bagian Semarang dan Demak, putra ke dua mendapat bagian Kedu dan Bagelen, sedang putra yang bungsu Jipang (Kerajaan Hindu Jawa Bowerno, yaitu Bojonegoro dan Blora), seorang anak menantu lagi Jepara, Pati dan Rembang anak menantu lagi diberi Madura, Sedayu, Gresik, Surabaya dan Pasuruan. Dalam hal ini mungkin termasuk Tuban.
Bupati Jipang menaruh dendam dan iri hati terhadap kakaknya dan juga iparnya yaitu Bupati Jepara, Pati, Rembang dan menyuruh membunuhnya : ini menyebabkan setelah wafatnya Pangeran Trenggono banyak intrik-intrik yang selesai setelah Adipati Jipang wafat. Oleh Jaka Tingkir atau Panji Mas, Adipati Jipang dibunuh dalam perkelahian berdua.
1568 Jaka Tingkir (Panji Mas) menugaskan Raja Islam di Giri untuk dinobatkan sebagai Sultan Pajang dan Jipang. Pada saat itu Tuban menjadi wilayah Pajang dan Jipang.
Putri Jaka Tingkir kawin dengan Bupati Tuban Aryo Permalat.
Pemerintahan di Mataram yang pada waktu itu terdiri dari 300 Kepala Somah oleh Sultan Pajang dikuasakan pada Kyai Gede Pemanahan yang menetap di Pasar Gede dan kemudian tahun 1575 wafat dan diganti oleh Mas Ngabei Sutowijoyo. Beliau ini dari Sultan Pajang mendapatkan Gelar Senopati ing Ngalogo.
1582 Sultan Pajang diracun oleh Mas Ngabei Sutowijoyo. Ketika itu Tuban menjadi jajahan Mataram. Dari catatan Frank van der Does pada waktu belajar, dijelaskan bahwa orang-orang Belanda pada tahun 1596 tanggal 2 Desember datang di Tuban berlabuh dan berdagang.
1598 Jacob van Heemskerk datang di Tuban diterima secara orang timur oleh raja bersama gubernurnya yang bernama Ragalela berasal dari Portugal. Dikatakan : “Saya ingin sekali tahu Kota Tuban”, demikianlah tulisan dari Vice Admiral Jacob van Heemkerk di dalam catatan pelayarannya yang selanjutnya dikatakan, “demikian raja menyertai saya dengan dua orang datang ke daratan, untuk melihat istananya. Setelah datang di daratan, saya membawa dua atau tiga orang dan seorang anak lagi, yang rupanya putih. Raha dan penggawanya sangat heran dan membawa kami ke dalam ruangan dimana telah hadir permaisuri-permaisuri raja (selir) yang banyak yang menurut dugaan kami berjumlah 50 sampai 60 orang. Orang-orang peserta saya dipanggil untuk mendekat pada beliau dan penggawa yang nampak selalu keheran-heranan. Raja berbicara sekedar pada permaisuri (kedua beliau ini nampaknya sama sangat gemuknya) kata-kata mana saya tidak mengerti, tetapi para beliau itu kemudian sama ketawa terbahak-bahak, beliau kemudian memerintahkan untuk meniup terompet, yang segera dilaksanakan, kemudian mereka pergi untuk menyertai kami, diikuti dengan beberapa orang wanita, putrinya masih remaja, yang sama membawa air, sirih, kapur dan lain-lain barang lagi”.
Antara orang Belanda dan raja nampaknya terjalin suatu pengertian yang baik, ternyata raja memberi hadiah yang berharga berupa sebuah keris dengan tempat dari emas yang tentunya menimbulkan keheranan. Vice Admiral mencatat di dalam bukunya agar kelak membawa kain untuk pakaian terdiri dari bunga-bunga yang berwarna ditambah dengan barang-barang lain yang sangat indah untuk disampaikan kepada raja, sekalipun demikian Vice Admiral tadi menggerutu, karena dangkalnya pelabuhan, sehingga kapalnya harus berlabuh jauh dari pantai.
1601 Mas Ngabei Sutiwijoyo wafat setelah memanggil para bupati dari Cirebon, Sumedang, Madura dan Tuban untuk datang di ibukota Pasar Gede untuk mengakuinya sebagai Raja Mataram. Beliau diganti oleh putranya yaitu Panembahan Sedo Krapyak (Mas Jolang).
1613 Panembahan Sedo Krapyak wafat setelah bertempur dengan Gresik yang tidak suka mengakui kedaulatannya. Pada waktu itu Gresik di bawah Pimpinan Gubernur Jenderal Both sedang membangun suatu gedung, yang oleh Panembahan Sedo Krapyak dimusnahkan.
Panembahan Sedo Krapyak diganti oleh putranya bernama Martopura, yang telah menjadi raja sampai tahun 1638 yang kemudian diganti oleh kakaknya Cokrokusumo (R. M. Rangsang) yang kemudian mendapatkan gelar Sultan Agung dan wafat pada tahun 1645. Banyak bupati dari Jawa Timur diantaranya bupati dari Surabaya, Lasem dan Tuban tidak bersedia mengakui kedaulatan Sultan Agung dari Mataram yang dianggap jahat itu dan bertempur bersama-sama melawan tentara kerajaan.
Pada waktu itu ternyata Angkatan Laut Tuban sangat kuatnya. Hal ini dapat diketahui di dalam tulisan pada tahun 1615 oleh Balthazar van Eijndhoven, yang menyatakan : “musuh-musuh dari kaisar (yang dimaksud Sultan Agung Mataram) ialah Tuban, Lasem, Brondong, Surabaya, Paciran yang bersama-sama melawan tentara kerajaan pada tahun 1615, di daratan raja sangat kuat, tetapi di laut Tentara Tuban yang kuat”.
1615 Tuban yang bupatinya bernama Pangeran Dalem, diserang dan dikuasai oleh prajurit-prajurit Mataram dibawah Pimpinan Kyai Randu Watang yang dapat menguasai bentengnya Pangern Dalem dan menyita meriam yang keramat dari Tuban yang bernama Kyai Sidomurti yang didapatnya dari orang-orang Portugis atau orang-orang Belanda yang pertama-tama mendarat di Jawa.
Pangeran Dalem yang di lautan lebih kuat daripada di daratan lari ke Bawean dan kemudian sebagai Bupati Tuban diganti oleh utusan dari Mataram yaitu Pangeran Pojok. Dengan demikian maka Tuban menjadi wilayah Mataram kembali.
1620 Surabaya diserang oleh tentara dari Mataram, sedang Lasem dan Pasuruan telah dijatuhkan lebih dulu.
1623 Surabaya diserang kembali oleh Mataram dan dikuasai.
1645 Sultan Agung wafat diganti oleh puteranya yang kedua yaitu Pangeran Aryo Prabu, dengan Gelar Amangkurat. Dalam waktu pemerintahannya ada 4 orang Gubernur Pantai yaitu di Juana, Jepara, Semarang, dan Demak. Bupati Tuban pada waktu itu kedudukannya tidak mudah dan seperti juga halnya bupati-bupati bawahannya dari Mataram lainnya, lebih banyak berada di ibu kota Amangkurat dari pada didaerahnya sendiri. Maka tidak meng¬herankan, bahwa pada pemberontakan Trunojoyo tahun 1674 Bupati Tuban berada di pihak pemberontak. Menurut sejarah yang dituturkan oleh pribumi di Tuban, agaknya Trunojoyo pernah juga datang di Tuban antara lain di Desa Prunggahan, Kecamatan Semanding, yang menyebabkan orang pribumi sekarang banyak yang ingin pakai nama “Truno”.
Hampir semua daerah pantai menyatakan dirinya bebas dari penguasaan Mataram yang dipandang jahat dan sewenang-wenang itu. 1677 Adipati Anom ialah putra dari Amangkurat yang telah memadamkan pemberontakan, dilantik sebagai Susuhunan Mataram dengan nama Amangkurat ke II. Kemudian dicapai persetujuan dengan Mataram, yang menyatakan bahwa semua pelabuhan tepi pantai utara mulai dari Krawang sampai Jawa Timur, jadi termasuk Tuban digadaikan pada Belanda, karena utangnya Mataram pada waktu peperangan.
1678 Angkatan Perang dibawah Hurt dan St. Martin melawan Trunojoyo. Sebagian dari Angkatan Perang dibawah Kapten Muller dan Kapten Remesse menuju Rembang. Bupati Tuban Raden Arya Dipusana bertempur pada pihak, Trunojoyo dan di Singkul (Sedayu) gugur dalam serangan Angkatan Perang Hurt, Kediri yang digunakan sebagai basis Trunojoyo, dikuasai oleh Tak. Para Bupati Tuban dan Sedaju kemudian kembali memihak Mataram.
1679 Pangeran Puger dan Senopati berontak.
1703 Amangkurat ke II dari Mataram diganti oleh Amangkurat ke III (Sunan Mas).
1704 Pangeran Puger minta pertolongan Pemerintah Belanda menyerang Raja Amangkurat ke III. Para bupati dari pantai utara berada di pihak Pangeran Puger dan mengakui beliau sebagai Susuhunan Pakubuwono yang pada tahun 1705 oleh Pemerintah Belanda diakui sebagai Raja Mataram.
1705 Dibuat persetujuan baru dengan Mataram dan menyerahkan Cirebon serta Priangan pada Belanda. Raja Amangkurat ke II atau Sunan Mas dipecat sebagai raja dan memihak pada pemberontak Suropati.
1706 Angkatan Perang dibawah Mayor Govert Knol menyerang pemberontak. Suropati dekat Kali Porong mendapat luka-luka dan gugur.
1707 Angkatan Perang dibawah Pimpinan Van de Wilde mengalahkan Kediri. Bupati Sampang Cakraningrat menggunakan kesempatan ini untuk diangkat sebagai Panembahan dari daerah pantai bagian timur. Dengan demikian beliau mengalahkan Bupati Gresik dan memindahkan Bupati Sedayu ke Tuban. De Wilde kemudian mengalahkan kembali kabupaten-kabupaten pantai dan mengangkat orang yang terpercaya sebagai Bupati Tuban. Telah ditentukan bahwa Susuhunan Mataram dapat mengangkat Gubernur Daerah Pantai Timur, tetapi dengan persetujuan Pemerintah Belanda. Sunan Mas menyerah dan dibuang ke Sailan. Pada tahun 1708 Pangeran Puger diangkat jadi raja dengan gelar Paku Buwono ke I.
1709 Semua bupati dipanggil mengikuti konperensi kerja di Kartasura dengan Gubernur Knol dan Susuhunan. Pada waktu itu sistem tanam paksa dan wajib bantu diadakan. Dengan demikian Tuban harus mewujudkan 240 ringgit kontan ditambah dengan 12,5 koyan beras ditambah lagi benang kain, kayu sapan dan kulit kerbau. Waktu itu Kerajaan Mataram dibagi atas 43 kabupaten. Jabatan Gubernur Daerah Pantai dicabut.
1710 Para pemberontak dibawah Bupati Winongan, menguasai Pasuruan. Kepala-kepala pemberontak menghancurkan Tuban. 1719 Paku Buwono ke I mangkat dan diganti oleh P. Prabu juga dinamakan Sunan Prabu atau Amangkurat ke IV. Yang membantu para pemberontak antara lain Diponegoro, Diposanto, Pangeran Purboyo, Pangeran Blitar, Aryo Mataram, dan Mangkunegoro. Pada tahun 1723 pemberontakan berhenti.
1727 Sunan Prabu mangkat dan diganti oleh puteranya yang kemudian diangkat dengan Gelar Paku Buwono ke II jadi raja. Pada tahun 1733 dibuat persetujuan baru dengan Paku Buwono ke II.
1740 Di Pulau Jawa timbul pemberontakan Cina. Paku Buwono ke II membantu para pemberontak. Tuban, Gresik dan Lamongan pun membantu pihak Cina, tetapi kemudian oleh Bupati Madura Cakraningrat dan puteranya Bupati Sedayu yang keduanya tetap setia kepada Belanda dapat menduduki Tuban, Gresik dan Lamongan.
1741 Para pemberontak mengakui Mas Garendi atau Sunan Kuning sebagai raja. Pemerintah Belanda memberikan bantuan lagi dan mengakhiri pemberontakan.
1743 Dibuat suatu persetujuan baru dengan Paku Buwono ke II dimana sebagian besar dari Jawa Timur termasuk Daerah Rembang menjadi daerah Kompeni. P. Cakraningrat dari Madura yang pernah memberikan bantuan yang kuat minta diserahkan Gresik, Tuban, Sedayu dan Surabaya sebagai wilayah kabupaten anaknya yaitu Bupati Sedayu yang kemudian pakai gelar Panembahan. Ini menyebabkan Van Imhoff memberikan perhatian kepada para penguasa O.I.C, karena soal-soal yang tidak layak dari Bupati Madura, tindakan-tindakannya yang kurang dapat dibenarkan, sikap¬sikapnya yang pemarah, dan tindakan-tindakan lain lagi yang berani tetapi tidak sehat.
Pemberontakan baru dari Cakraningrat menyebabkan Tuban dan Sedayu dikuasai oleh Komisaris Varrijssel. Bupati Tuban dan bahkan Putra Cakraningrat yaitu Bupati Sedayu, mengakui kedaulatan Kompeni.
1745 Sekalipun Tuban masih merupakan daerah Mataram, dapat mengadakan pilihan dan penunjukan atas persetujuan Verrijssel, pemimpin-pemimpin terdiri dari pembesar Jawa masing¬masing di Gresik, Tuban dan Sedayu. Orang Madura yang masih bersembunyi di Rembes (Tuban) kemudian dapat diusir.
1746 Gubernur Jenderal Van Imhoff turun ke Jawa Timur ka¬rena menurut laporan di Jawa Timur selalu banyak menghebohkan Kompeni. Pada waktu itu atas usul Komisaris Verrijssel oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff Tuban menjadi daerah bawahan Rembang, dengan demikian hubungan Tuban daerah timur yang mengakui penguasa Surabaya terhenti.
1749 Daerah Kerajaan Mataram diserahkan kepada Kompeni. Meskipun demikian Gubernur Jenderal Van Hohendorff mengangkat Pamgeran Pati sebagai Paku Buwono ke III. Kemudian timbul pemberontakan dari Mangkubumi, yang menyatakan diangkat sebagai Sultan Mataram. Kemudian timbul pertempuran terhadap Mangkubumi dan Mas Said.
1755 Oleh Gubernur Semarang Nikolas Hartingh separuh dari Mataram diserahkan kepada Mangkubumi, yang kemudian mendapat Gelar Sultan Amangkubuwono dan menetap di Yogyakarta.
1757 Mas Said mendapat Gelar Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro, Bupati Madura diangkat menjadi “Wedono” atau “pelindung” dari kabupaten-kabupaten timur seperti Pamekasan, Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Gresik, Lamongan, Sedayu, Lasem dan Tuban. Gubernur dari Daerah Pantai Utara Jawa Hartingh menulis didalam catatan serah terima tahun 1761 mengenai Tuban sebagai berikut : Tuban adalah daerah yang luas dan lebar, tetapi daerah pegunungan dan hutan. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kali Solo, disini letaknya Pasar Prambon Wetan, yang perbaikannya tergantung kepada keadaan daerah atasan, dalam mana Tuban selama bertahun-tahun belum pernah memberikannya, disini kepalanya ialah Tumenggung Rana Negara orang sudah tua, bodoh, sangat jahat terhadap rakyat, tetapi prajurit yang baik yang menyebabkan daerah ini dapat diserahkan kepada Kompeni dan tetap setia kepadanya, ia selalu dapat menghalaukan musuh, sehingga padanya perlu diberikan sesuatu dispensasi.
Dia memberikan pada Rembang 100 koyan beras kontan dan seribu pikul kayu sebetan untuk penggergajian bagi Kompeni, uang sejumlah 325 ringgit dan persewaan tanah sejumlah 2250 ringgit setiap tahunnya. Juga apabila pekerjaan terlalu sibuk, masih diberikan tambahan kayu glondongan untuk penggergajian, dan tepi pantai dipergunakan untuk perahu-perahu kecil, juga kayu diberikan untuk pembuatan pasar-pasar dan untuk diberikan kepada pedagang-pedagang kecil.
1787 Paku Buwono ke III mangkat dan diganti oleh Paku Buwono ke IV (Sunan Bagus). Pada waktu itu sudah ada Gubernur dari Pantai Utara Sebelah Timur Pulau Jawa (yang pertama tahun 1747 Honhendrff, selanjutnya Gubernur Hartingh, Van Ossenbergh, Vos, Can der Burgh, Siberg, Greeve dan Van Overstraten).
Kemudian Gubernur Van der Burgh pada tahun 1773 mengusulkan kepada Gubernur Jendral agar Bupati Tuban Mas Rekso Negoro atau Mas Tumenggung Cokro Negoro dipecat sebab memberikan beban baru pada bawahannya, pada rakyat. Dari 100 koyan beras yang tiap tahunnya rakyat harus memberikannya, yang 30 koyan dibayar, tetapi sisa yang 70 koyan seperti benang kain halnya, tidak dibayarnya. Keterangan mengenai Tumenggung Rana Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam daerah Tuban lama, banyak bupatinya. Di antaranya, Tuban, daerah atasan sampai Kali Solo.
Dalam catatan serah terima pada tahun 1780 Gubernur Pantai Utara Timur Pulau Jawa Van der Burgh Gubernur yang berhenti, menjelaskan kepada penggantinya Gubernur Siberg, bahwa Bupati Tuban Purbonegoro (Purwonegoro) yang telah diketahui sejak beberapa lama agak menyimpang, tetapi kemudian seperti juga halnya dengan Bupati Lasem membutuhkan waktu yang lama kesabaran gubernur untuk dapat mengharapkan suatu perbaikan.
Terhitung dari daerah pantai utara timur Pulau Jawa yang ikut Pemerintahan Belanda adalah termasuk Karesidenan Rembang yang membawahkan Kabupaten Rembang, Lasem dan Tuban, begitu daerah-daerah sebelah timur Tuban dikuasai oleh penguasa¬penguasa Jawa Timur dan dibawah Gubernur Pantai Utara Pulau Jawa dan menetap di Surabaya yang membawahkan Residen Gresik.
1808 Dibawah Gubernur Jenderal Daendels Pemerintahan Pantai Jawa Utara, dihapuskan. Residen menjadi Prefect (kemudian dibawah Raja Lodewijk diganti nama Landdrost). Jawa Timur diserahkan pada pimpinan penguasa di Surabaya. Gresik dimana ada Residennya diserahkan kepada Onderperfect. Tuban dijadikan satu dengan Gresik. Kemudian Daendels mengadakan konperensi, kerja dengan penguasa beberapa Perfect dan 38 bupati dari daerah pantai utara timur mengenai susunan pemerintahan dalam daerah. Dibawah Gubernur Jenderal Raffles Rembang terma¬suk Tuban dijadikan Karesidenan kembali.
1827 Pada waktu ada pemberontakan Pangeran Diponegoro juga di Rembang ada pemberontakan dipimpin oleh Tumenggung Sosrodilogo, kakak dari Sultan Agung Yogyakarta yang berhasil menguasai Blora dan Tuban.
1828 Jenderal Holsman mengalahkan para pemberontak.
1830 Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang. Permusuhan berhenti, dan sejak itu ketenteraman di Tuban tidak diganggu lagi oleh kericuhan, di dalam daerah.
Yang menjadi permulaan ceritera sejarah ini ialah pada waktu Negara Pajajaran yang semula berpusat dekat Ciamis, diperintah oleh seorang raja yang bernama Prabu Banjaransari.
Pada waktu sang Prabu Banjaransari ini memerintah, keadaan Negara Pajajaran aman sejahtera dan rakyatnya hidup makmur, sehingga nama sang Prabu Banjaransari termasyhur bukan saja di dalam negeri, tetapi juga sampai di luar negeri.
Sang Prabu Banjaransari mempunyai banyak putra, akan tetapi sebagai pokok pangkal sejarah Tuban ini kita mengambil salah satu di antara para putra sang Prabu Banjaransari tersebut, yakni Raden Arya Metahun, yang kelak menurunkan para Bupati Tuban. Sang Prabu Banjaransari berputra Raden Arya Metahun. Raden Arya Metahun berputra Raden Arya Randu Kuning.
I. Kabupaten Lumajang Tengah
Raden Arya Randu Kuning ini mengembara ke arah timur, dengan seizin neneknya yakni sang Prabu Banjaransari. Sampai di sebelah utara Kalakwilis Kecamatan Jenu Tuban. Raden Arya Randu Kuning menghentikan pengembarannya, dan kemudian membuka Hutan Srikandi yang terletak di tepi pantai dekat Gunung Kalakwilis untuk dijelmakan menjadi sebuah negara. Berkat keinginan dan kemauannya untuk menjadi bupati disertai dengan bekerja keras, maka lama-lama Hutan Srikandi menjadi sebuah perkampungan, yang akhirnya menjadi sebuah kabupaten yang diberi nama Kabupaten Lumajang Tengah dengan Raden Arya Randu Kuning sebagai bupatinya, yang kemudian bergelar Kyai Ageng (Kyai Gede Lebe Lontong + permulaan abad 12).
Alkisah ketika Kyai Gede Lebe Lontang menjadi Bupati Lumajang Tengah negara dalam keadaan aman, sentosa, gemah ripah loh jinawi, rakyat hidup makmur. Itu semuanya berkat kebijaksanaan dan kesaktian yang menimbulkan pribawa pribadi sang Bupati Lebe Lontang yang diperoleh dengan melakukan yoga, dan selalu berikhtiar dengan menggunakan daya kekuatannya agar kerajaan dan rakyatnya selalu hidup makmur, aman dan sejahtera.
Bekas wilayah Lumajang Tengah didapat kembali dalam hutan sebelah timur laut tempat pemberhentian Kereta Pos Bogang (Kecamatan Jenu).
Kyai Ageng Lebe Lontang ini menjadi bupati di Lumajang Tengah lamanya 22 tahun.
II. Kabupaten Gumenggeng
Kyai Ageng Lebe Lontang berputra seorang bernama Raden Arya Bangah, yang mempunyai kesaktian lebih dari ayahnya, lagi pula mempunyai paras yang elok, sehingga para gadis remaja jatuh cinta dengan tidak disadari oleh Arya Bangah.
Akan tetapi setelah ayahnya mangkat, Raden Arya Bangah tidak mau diangkat menjadi Bupati Lumajang Tengah menggantikan ayahnya, tetapi Raden Arya Bangah mempunyai keinginan keras akan mendirikan kabupaten sendiri. Akhirnya diputuskan pergi mengembara menuju ke arah selatan dengan diikuti keluarga dan rakyatnya. Setelah sampai di kaki gunung Rengel, Raden Arya Bangah beserta pengikutnya menghentikan perjalanan. Dan kemudian membuka hutan akan dijadikan perkampungan.
Lama-lama perkampungan tersebut menjadi sebuah kabupaten yang diberi nama Gumenggeng. Sebagaimana ayahnya, Kabupaten Gumenggeng ini menjadi kabupaten yang aman sejahtera, dan rakyatnya hidup tenang dan makmur. Bekas kabupaten tersebut sekarang menjadi Desa Banjaragung (Kecamatan Rengel).
Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra bernama Arya Dandang Miring. Setelah memerintah 22 tahun, Raden Arya Bangah mangkat. Semasa hidup ayahnya, Redan, Arya Dandang Miring ini suka bertapa, kadang-kadang mengembara di tempat-tempat yang sunyi, dengan maksud minta kepada para dewata, agar keturunannya kelak dapat menjadi bupati prajurit dan negara yang akan diperintahnya selalu dalam keadaan aman tenteram, lagi pula rakyatnya dapat hidup makmur. Karena sangat kuat dan tabahnya Raden Arya Dandang Miring menyatukan cipta dan kehendaknya, akhirnya permintaannya dikabulkan oleh dewata yang mulia dan dalam bersamadi, Raden Arya Dandang Miring mendapatkan ilham yaitu : Semangkat ayahnya kelak, ia tidak diperkenankan menjadi bupati di Gumenggeng, sebab kalau tetap menjadi bupati di Gumenggeng, apa yang dicita-citakan tidak akan tercapai. Untuk mencapai cita-cita itu ia harus membuka hutan sendiri yang letaknya di sebelah barat laut dari Kabupaten Gumenggeng, dan lagi kabupaten tersebut hanya khusus untuk Raden Arya Dandang Miring sendiri. Permintaannya baru terkabul jika putranya kelak membuka hutan yang bernama Papringan dan setelah dibuka, supaya diberi nama Tuban. Dan putranya itulah kelak yang dapat menurunkan para Bupati Tuban turun temurun dan Kabupaten Tuban akan menjadi kabupaten yang aman tenteram, lagi rakyatnya hidup makmur sesuai dengan permintaannya, juga akan menjadi tempat peristirahatan (makam) para wali atau para aulia dari Negeri Arab, kalau sudah tiba waktunya. Zaman itu adalah zaman masuknya kebudayaan Hindu di Pulau Nusantara dan menurut ramalan itu, kelak Tuban akan memasuki babak baru dimana agama Islam mulai berkembang (3 abad kemudian yaitu abad 15). Perintah Dewata yang mulia (ilham) yang diterima itu, dilaksanakan oleh Raden Arya Dandang Miring.
III. Kabupaten Lumajang
Oleh karenanya setelah ayahnya mangkat Raden Dandang Miring tidak mau menggantikan ayahnya menjadi Bupati Gumenggeng, akan tetapi memerintahkan kepada semua penggawa dan rakyatnya membuka hutan yang bernama Ancer yang letaknya di sebelah barat laut Kabupaten Gumenggeng. Setelah pembukaan hutan tersebut selesai, lalu diberi nama Lumajang. Raden Arya Dandang Miring berputra seorang yang diberi nama Raden Dandang Wacana, parasnya sangat bagus, sakti lagi berbudi maha pendeta utama, dengan demikian sangat dikasihi oleh rakyatnya. Sedang Bupati Raden Arya Dandang Miring memerintah Negara Lumajang dengan aman sentosa, rakyat dan penggawa sangat kasih kepada beliau. Negara dan rakyat dalam keadaan aman sentosa, sehingga penduduknya tidak mengenal pencuri dan kekurangan. Setelah Raden Arya Dandang Miring memerintah Lumajang selama 20 tahun, kemudian mangkat. Sebelum beliau mangkat, beliau berpesan kepada putranya Raden Arya Dandang Wacana supaya melakukan ilham yang diterima dari dewata mulia, yakni membuka Hutan Papringan untuk dijadikan negara.
Semangat ayahnya, Raden Arya Dandang Wacana melaksanakan apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Rakyat beserta penggawa Kabupaten Lumajang, diperintahkan membuka Hutan Papringan dan setelah pembukaan tersebut selesai, kemudian diberi nama Tuban.
IV. Kabupaten Tuban
Pada waktu pembukaan Hutan Papringan, keluarlah dengan tidak terduga Sumber Air, Metu Banyu (bahasa Jawa) yang kemudian disingkat menjadi Tu-Ban, merupakan nama wilayah kabupaten yang spontan diberikan oleh Raden Arya Dandang Wacana, sumber air ini sangat sejuk dan meskipun terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa, mata air tadi tidak bergaram, lain halnya dengan pantai kota-kota lainnya.
Bupati ke I
Dalam pemerintahan Raden Arya Dandang Wacana negara dan rakyat selalu dalam keadaan aman dan sejahtera, pencuri perampok tidak dikenal oleh penduduk. Sandang pangan berlimpah-limpah, penduduk tak pernah merasa kekurangan. Siang malam selalu ramai, hampir tak ada bedanya. Oleh karena itu penduduk sangat cinta dan kasih kepada sang Bupati Raden Arya Dandang Wacana.
Setelah 3 tahun memegang pemerintahan Raden Arya Dandang Wacana memerintahkan membuat Pesanggrahan. Pesanggrahan ini dikelilingi parit dan kolam, ditanami dengan aneka macam pohon yang menyebabkan Pesanggrahan tersebut rindang dan membuat pemandangan yang sangat indah dan menarik. Pesanggrahan tersebut kini diberi nama “Bekti” dan nama ini diambilkan dari kata “Pangabekti” (bahasa Jawa). Sebab jika sang Bupati Raden Arya Dandang Wacana sedang beristirahat di Pesanggrahan tersebut, banyak penggawa dan rakyat yang berdatang sembah (mengabekti). Dan sekarang Pesanggrahan dan desa tersebut namanya menjadi “Bektiharjo” (Harjo = rejo, banyak pengunjung). Perlu diketahui bahwa Raden Arya Dandang Wacana juga berganti nama Kyai Gede Papringan. Setelah memerintah 20 tahun Bupati Dandang Wacana mangkat, jenazahnya dimakamkan di dekat Kaligunting Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding.
Kabupaten Tuban yang tersebut pertama tadi, sekarang menjadi 3 desa yakni : “Dukuh Trowulan, Desa Prunggahan Kulon dan Desa Prunggahan Wetan.” Hingga sekarang para wanita kelahiran 3 desa tersebut, terkenal akan kecantikannya dan terdapat ciri khas yakni “dekik” (bahasa Jawa) pada pipinya. Kecantikan wanita-wanita tersebut bagaikan bidadari yang mengejawantah, oleh karena itu para pemuda boleh pilih untuk dijadikan teman hidupnya. Agar mudah diingat, para bupati yang pernah memerintah dalam Kabupaten Tuban, kami beri nomor urut.
Bupati pertama dari Kabupaten Tuban ialah Raden Arya Dandang Wacana (Kyai Ageng Papringan, sebab Raden Arya Dandang Wacanalah yang mendirikan kabupaten dengan nama Tuban. Menurut babad Tuban karangan E.J. Jasper, Tuban merupakan daerah Andahan, (vazalstaat) dari Majapahit, sejak Arya Dikara menjadi Bupati Tuban, bupati yang terakhir ini (yang ke 6 dari daftar Bupati Tuban) setelah mempunyai menantu Syeh Ngabdur¬rahman, kemudian memeluk agama Islam (abad ke15). Kyai Ageng Papringan berputra 2 orang, yakni Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngeksa. Nyai Ageng Lanang Jaya berputra seorang yang diberi nama Raden Ronggolawe, Nyai Ageng Ngeksa berputra seorang yang diberi nama Raden Arya Kebo Anabrang.
Bupati ke II
Setelah neneknya mangkat (Kyai Ageng Papringan) yang menggantikan jadi bupati yakni cucunya Raden Hariyo Ronggolawe. Setelah Raden Hariyo Ronggolawe memegang tampuk pemerintahan, rumah kabupaten dipindah sebelah barat Guwo Akbar. Bekas kabupaten sekarang dipergunakan untuk makam Bakung Kecamatan Semanding).
Bupati ke III
Sesudah Raden Ronggolawe mangkat, Raden Sirolawe menggantikan ayahnya menjadi Bupati Tuban. Beliau memerintah selama 15 tahun dan mangkat.
Bupati ke IV
Raden Hariyo Sirolawe berputra seorang bernama Raden Hariyo Sirowenang dan setelah ayahnya mangkat ia menjadi bupati. Pemerintahan Sirolawe berlangsung selama 43 tahun.
Bupati ke V
Setelah Raden Hariyo Sirowenang mangkat, diganti oleh puteranya, Raden Hariyo Lena. Pemerintahan berlangsung selama + 52 tahun dan pada pemerintahannya rumah kabupaten dipindahkan ke Desa Doromukti (Kecamatan Kota Tuban).
Bupati ke VI
Setelah mangkatnya Raden Hariyo Leno, Raden Hariyo Dikara puteranya menggantikan menjadi bupati. Beliau memerintah selama 18 tahun dan kabupatennya berdiri tetap di Desa Doromukti. Beliau mempunyai putera 2 orang yakni : Raden Ayu Hariyo Tejo dan Kyai Ageng Ngraseh. Kemudian Raden Ayu Hariyo Tejo menjadi isteri Syeh Ngabdurahman, putera Syeh Jali/Syeh Jalaludin/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala dari Gresik (saudara Sunan Ngampel). Sejak pemerintahan Bupati Raden Dikara, Bupati Tuban memeluk agama Islam.
Bupati ke VII
Setelah Bupati Raden Hariyo Dikara mangkat yang menggan¬tikan menantunya Syeh Ngabdurahman dan kemudian berganti nama Raden Hariyo Tejo. Beliau memerintah selama + 41 tahun (tahun 1460). Dibawah pemerintahan Bupati Raden Hariyo Tejo inilah, maka Tuban sebagai daerah andalan Majapahit, turut memberontak membantu Raden Patah melawan Brawijaya. Majapahit jatuh kedalam kekuasaan Raden Patah tahun 1478, yang kemudian menjadi Sultan Demak dan sejak itu Tuban ada di bawah Demak.
Bupati ke VIII
Raden Hariyo Tejo mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Hariyo Wilatikta dan setelah ayahnya mangkat, beliau yang menggantikan. Pemerintahan Bupati Hariyo Wilatikta ini berlangsung selama + 40 tahun.
Bupati ke IX
Setelah Raden Hariyo Wilatikta mangkat, yang menggantikan menjadi bupati ialah Kyai Ageng Ngraseh, yang kemudian kawin dengan Putera Raden Hariyo Wilatikta. Setelah memerintah + 40 tahun mangkat.
Bupati ke X
Perkawinan Kyai Ageng Ngraseh dengan putra putri Raden Hariyo Wilatikta berputera seorang yang diberi nama Kyai Ageng Gegilang yang kemudian menggantikan ayahnya. Pemerintahannya berlangsung selama + 38 tahun.
Bupati ke XI
Penggantian Kyai Ageng Gegilang ialah yang bernama Kyai Ageng Batabang. Beliau mangkat setelah memerintah selama 14 tahun lamanya.
Bupati ke XII
Pengganti Bupati Kyai Ageng Batabang ini putra tunggalnya ialah Raden Hariyo Balewot. Beliau memerintah selama + 56 tahun kemudian mangkat.
Bupati ke XIII
Bupati Hariyo Balewot mempunyai 2 orang putra yakni Pangeran Sekartanjung dan Pangeran Ngangsar. Setelah Bupati Raden Hariyo Balewot mangkat yang menggantikan ialah puteranya sulung yaitu Pangeran Sekartanjung.
Bupati ini terbunuh waktu beliau sedang bersembahyang Jum’at dengan ditusuk Pusaka Lilam Upih yang bernama Kyai Loyan dari belakang oleh adiknya yaitu Pangeran Ngangsar. Tusukan ini menembus punggung dan dada dan akhirnya Bupati Pangeran Sekartanjung mangkat. Pemerintahannya berlangsung selama + 22 tahun dan mempunyai putra 2 orang yaitu Pangeran Hariyo Permalat dan Hariyo Salampe, waktu ayahnya mangkat kedua putranya masih kecil.
Bupati ke XIV
Pengganti Bupati Pangeran Sekartanjung ialah adiknya Pangeran Ngangsar. Baru memerintah 7 tahun beliau mangkat.
Bupati ke XV
Setelah Bupati Pangeran Ngangsar mangkat, yang menggantikan ialah Pangeran Hariyo Permalat, sekira pada tahun 1568 bupati ini kemudian kawin dengan putra putri Kanjeng Sultan Pajang (Raden Jaka Tingkir), Raden Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang tahun 1568 dan Tuban termasuk daerah kekuasaannya.
Beliau mempunyai seorang putra diberi nama Pangeran Dalem. Setelah memerintah selama + 38 tahun kemudian mangkat, pada masa itu Pangeran Dalem masih kecil.
Bupati ke XVI
Karena Pangeran Dalem masih kecil, maka yang menggantikan Bupati Pangeran Hariyo Permalat ialah Hariyo Salampe. Pemerintahan bupati ini berlangsung selama + 32 tahun dan kemudian mangkat.
Bupati ke XVII
Setelah Bupati Hariyo Salampe mangkat, digantikan oleh Pangeran Dalem. Pada masa pemerintahan, beliau memindah rumah kabupaten ke Kampung Dagan (Kota Tuban) sebelah selatan Watu tiban. Di samping itu beliau mendirikan masjid dan benteng di luar kota, terletak di Guwo Akbar membujur dari timur ke barat. Pembuatan benteng ini, Kyai Mohammad Asngari yang ditugaskan, sebagian dari benteng ternyata belum dapat diselesaikan pada waktunya. Dan ketika hal ini diketahui oleh Bupati Pangeran Dalem, Kyai Mohamad Asngari dipanggil menghadap ke kabupaten. Setelah Kyai Mohamad Asngari menghadap, Bupati Pangeran Dalem memerintahkan agar benteng tersebut lekas dapat, diselesaikan, dan bilamana tidak, Kyai Mohammad Asngari akan menerima hukuman, hal mana disanggupi. Dengan hati sedih Kyai pulang dan pada malam harinya ia bersamadi. Permintaannya, dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa dan pada pagi harinya benteng yang dimaksud telah jadi dengan megahnya. Hal mana sangat mengagumkan penduduk di sekitarnya juga Bupati Pangeran Dalem. Karena indah lagi besar, maka benteng tersebut oleh Pangeran Dalem diberi nama Benteng Kumbakarna. Dan sejak itu pulalah maka Kyai Mohammad Asngari termashur karena kesaktian ilmunya.
Hal pembuatan benteng terdengar juga oleh Sultan Mataram Hanyakra Kusuma saudara dari Martadipura putra dari Panembahan Seda Krapyak (Panembahan Seda Krapyak putra dari Sutawijaya), dan diketahui pula bahwa Bupati Pangeran Dalem akan melepaskan diri dari Sultan Mataram (1614). Hal tersebut dapat diketahui oleh Sri Sultan dengan bukti Benteng Kumbakarna yang didirikan oleh Bupati Pangeran Dalem. Untuk membuktikan dugaan tersebut Sri Sultan secara diam-diam mengirimkan utusan ke Tuban untuk menyelidiki akan kebenarannya. Yang mendapat tugas menjadi mata-mata ialah Kyai Randu Watang. Dalam menjalankan tugas mata-mata tersebut, Kyai Randu Watang setibanya di Tuban menanam 2 batang pohon randu alas sebagai tanda bukti bahwa Kyai Randu Watang telah sampai di Tuban. Tugas yang diberikan oleh Sri Sultan dapat dilaksanakan dengan baik, dan dapat diketahui olehnya bahwa benar-benar Bupati Pangeran Dalem ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Kemudian ia lekas-lekas kembali ke Mataram untuk melaporkan hal tersebut kepada Sri Sultan. Setelah Sri Sultan mendengarkan laporan itu beliau sangat murka. Untuk mencegah maksud Bupati Pangeran Dalem tersebut, Sri Sultan mengirimkan 35.000 orang prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Pojok ke Tuban.
Sebaliknya Bupati Pangeran Dalem setelah mendengar bahwa Prajurit Mataram akan menyerang Tuban, beliau memerintahkan kepada semua prajurit berjaga-jaga akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kedatangan prajurit-prajurit Mataram disambut dengan pertempuran oleh Prajurit Tuban. Pertumpahan darah terjadi, dan kedua belah pihak menderita kerugian yang besar. Mula-mula prajurit-prajurit Tuban disemua medan mendapat kemenangan, tetapi karena jumlah prajurit Mataram lebih banyak, maka akhirnya Prajurit Tuban banyak yang lari dan menyerah (1619). Setelah diketahui bahwa Prajurit Tuban banyak yang lari dan menyerah Bupati Pangeran Dalem melarikan diri ke Pulau Bawean. Tetapi di Pulau Bawean beliau tidak lama tinggal kemudian pergi ke Desa Rajekwesi (Bojonegoro sekarang). Pada waktu itu Rajekwesi masih merupakan hutan dan di bawah pemerintahan Jipang Panolan. Setelah menetap 5 tahun lamanya di Rajekwesi, Pangeran Dalem mangkat dan dimakamkan di Desa Kadipaten terletak di sebelah timur Kota Bojonegoro.
Hingga kini makam tersebut masih ada, terkenal dengan nama makam Buyut Dalem. Pada waktu peperangan sedang berkobar, meriam pusaka Kyai Sidomurti yang ditempatkan di Desa Kepohdondong (Palang) hilang tak berbekas. Menurut E.J. Jasper, meriam tersebut asal hadiah dari Portugis atau dari Belanda dan jatuh di tangan Tentara Mataram. Setelah peperangan berakhir dengan kekalahan Tuban, Pangeran Pojok segera memberi laporan kepada Sri Sultan. Atas perintah Sri Sultan, Pangeran Pojok diizinkan menjadi bupati di Tuban.
Bupati ke XVIII
Pangeran Pojok memegang pemerintahan selama + 42 tahun. Pada Hari Gerebeg Maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan Bupati Pangeran Pojok. Tetapi ketika perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak sakit dan mangkat di situ juga. Jenazahnya dimakamkan di sebelah selatan alun-alun Blora. Pada waktu beliau mangkat para putra masih kecil, oleh karena itu tidak dapat menggantikan jadi bupati.
Bupati ke XIX
Penggantinya ialah Pangeran Anom adik Pangeran Pojok. Dan setelah Pangeran Anom memegang pemerintahan selama 12 tahun atas perintah Sri Sultan, Pangeran Anom diberhentikan dari jabatan. Di Kabupaten Tuban untuk sementara waktu, jabatan bupati ditiadakan dan hanya diberi perwakilan (Umbul) 4 orang yakni : 1. Wongsoprojo bertempat di Jenu, 2. Wongsohito bertempat di Gresik, 3. Wongsocokro di Kidulngardi, 4. Yudoputro bertempat di Singgahan.
Bupati ke XX
Selanjutnya yang jadi bupati ialah Pangeran Sujokopuro atau Yudonegoro dan kabupaten bertempat di Prunggahan Kulon (Kecamatan Semanding).
Bupati ke XXI
Untuk mengisi lowongan jabatan bupati di Tuban, setelah Yudonegoro, oleh Sri Sultan diangkat Arya Balabar atau Arya Blender asal dari Mataram. Dan pemerintahan Arya Blender, rumah kabupaten dipindahkan ke Kampung Kaibon yang terletak di sebelah selatan makam Kyai Kusen (Kota Tuban). Beliau mangkat setelah memerintah + 39 tahun, membuat masjid sebelah barat makam Sunan Bonang.
Bupati ke XXII
Pengganti Bupati Arya Balabar ialah Pangeran Sujonoputro, Bupati Japanan (Mojokerto). Pada masa pemerintahan bupati ini rumah kabupaten dipindahkan ke Desa Prunggahan (Semanding), pemerintahan beliau berlangsung selama 10 tahun, kemudian mangkat dan dimakamkan di Desa Boto.
Bupati ke XXIII
Yang menggantikan ialah Putra Pangeran Judonegoro. Beliau mangkat setelah memerintah 15 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Giri.
Bupati ke XXIV
Setelah Bupati Pangeran Yudonegoro mangkat, penggantinya adalah Raden Arya Surodiningrat, bupati dari Pekalongan. Pada masa pemerintahan Raden Arya Surodiningrat, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Arya Diposono dan dibantu oleh Kyai Mangunjoyo asal dari Madura. Bupati Arya Surodiningrat mangkat dalam peperangan melawan kaum pemberontak setelah memegang pemerintahan selama 12 tahun lamanya.
Bupati ke XXV
Setelah dapat mengalahkan Bupati Raden Arya Suryodiningrat, Raden Aryo Diposono menggantikan jadi bupati. Setelah 16 tahun lamanya beliau memerintah Kabupaten Tuban, terjadilah peperangan melawan orang Madura. Peperangan ini berlangsung di Desa Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono mangkat dalam peperangan ini. Jenazahnya dimakamkan di Desa Singkul juga.
Bupati ke XXVI
Kyai Reksonegoro Patih Tuban setelah itu menjadi bupati berganti nama Kyai Tumenggung Cokronegoro. Mangkat setelah memerintah selama 47 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Dagangan (Kecamatan Parengan). Karena banyak berjasa kepada negara, Kyai Tumenggung Cokronegoro diberi pangkat kehormatan “Adipati”, Menurut J.E. Jasper tahun 1773 Gubernur van de Burgh mengusulkan pada Sultan Mataram supaya Bupati Tuban Mas Reksonegoro atau Mas Tumenggung Cokronegoro dipecat, karena pemerintahannya memberatkan penduduk dan tak dapat memenuhi tugasnya membayar upeti pada pemerintahan Belanda.
Bupati ke XXVII
Pengganti Adipati Cokronegoro ialah putranya yakni Kyai Purwonegoro. Ketika pemerintahan Bupati Purwonegoro ini berlangsung + 24 tahun, beliau sakit dan mengambil perlop atau cuti dan pergi ke Demak. Sakit beliau tidak berkurang, bahkan makin parah, akhirnya mangkat dan jenazahnya dimakamkan di Demak juga. Bupati Purwonegoro juga terkenal dengan sebutan Bupati Perlop, yakni asal dari kata “perlop” atau “cuti”.
Bupati ke XXVIII
Setelah Bupati Purwonegoro mangkat, penggantinya ialah Bupati Kyai Lieder Surodinegoro (Lieder = Ridder in de Orde van Oranje Nassau = nama bintang jasa). Pemerintahan Bupati Kyai Lieder Surodinegoro ini hanya berlangsung selama 3 tahun dan kemudian mangkat.
Bupati ke XXIX
Setelah Bupati Lieder Suryoadiwijoyo mangkat, diganti oleh putranya, yakni Raden Suryoadiwijoyo atau Raden Tumenggung Suryodinegoro. Pada masa pemerintahannya beliau memerintahkan memindah rumah kabupaten ke Kampung Gowah (Desa Sendangharjo Tuban). Pembuatan rumah kabupaten ini dapat diselesaikan pada tanggal 1 Juli 1814. Pemerintahan Bupati Raden Suryoadinegoro ini berlangsung selama 12 tahun dan berhenti.
Bupati ke XXX
Pengganti Bupati Raden Suryoadinegoro ini adalah Bupati Pangeran Citrasoma ke VI, asal Bupati Jepara atau nomor VI urutan dari Jepara. Pemerintahan Bupati Pangeran Citrasoma ke VI ha¬nya berlangsung selama 6 tahun, kemudian dipindahkan ke Lasem. Selama 3 tahun, terus dipindahkan lagi ke Jepara. Pembuatan ru¬mah kabupaten tahun 1821, yang menjadi tempat kediaman para bupati sampai sekarang.
Bupati ke XXXI
Pengganti Bupati Pangeran Citrasoma ke VI ini ialah Bupati Pangeran Citrasoma ke VII atau dihitung dari Tuban, Citrasoma II. Setelah memerintah selama 20 tahun mangkat.
Bupati ke XXXII
Pengganti Bupati Citrasoma ke VII ialah Bupati Pangeran Citrasoma ke VIII atau dari Tuban ke III. Memerintah selama 20 tahun, kemudian pensiun.
Bupati ke XXXIII
Pengganti Bupati Pangeran Citrasoma ke VIII, ialah Bupati Raden Tumenggung Panji Citrasoma ke IX atau Tuban ke IV, setelah memerintah 22 tahun kemudian dipensiun.
Bupati ke XXXIV
Setelah Bupati Raden Tumenggung Citrasoma ke IX pensiun, diganti oleh Raden Mas Somobroto tahun 1892, setelah memerintah 4 bulan mangkat, jenazahnya dimakamkan di makam Astana Bonang.
Bupati ke XXXV
Setelah Raden Mas Tumenggung Somobroto mangkat diganti oleh menantunya ialah Raden Adipati Arya Kusumodigdo. Beliau mangkat setelah memerintah selama 16 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Astana Makampati Tuban (tahun 1893¬1911).
Bupati ke XXXVI
Pengganti Raden Adipati Arya Kusumodigdo kakaknya Raden Tumenggung Pringgowinoto asal Patih Rembang 1911-1919. Pada tahun 1920 di Tuban dimulai jalan Kereta Api NIS.
BUPATI KE XXXVII : R.AA. PRINGGODIGDO/KUSUMODININGRTA 1919-1927
BUPATI KE XXXVIII : R.M.A.A. KUSUMOBROTO 1927-1944
BUPATI KE XXXIX : R.T. SUDIMAN HADIATMODJO 1944-1946
BUPATI KE XL : R.H. Mustain 1946-1956
BUPATI KE XLI : R. Sundaru 1956-1958
BUPATI KE XLII : R. Istomo 1958-1960
BUPATI KE XLIII : M. Widagdo 1960-1968
BUPATI KE XLIV : R. Soeparmo 1968-1970 (p.d.) (Penyusun Catatan Sejarah Tuban)
BUPATI KE XLV : R. H. Irchamni 1970-1975
BUPATI KE XLVI : H. Moch. Masdoeki 1975-1980
BUPATI KE XLVII : Surati Moersam 1980 - 1985
BUPATI KE XLVIII : Drs. Djoewahiri Marto Prawiro 1985 - 1991
BUPATI KE XLIX : Drs. H. Sjoekoer Soetomo 1991-
BUPATI KE XLX : Hindarto 1996 - 2001
BUPATI KE XLXI : Dra. Haeny Relawati Rini Widiastuti, MSi 2001 - sampai sekarang
Mesum di Rumah Kosong, ABG Digerebek Massa
8 tahun yang lalu
9 komentar:
saya sebagai orang tuban merasa wajib meluruskan sejarah Cerita di blog anda ini. versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA.seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan&darah. Padahal kenyataannya tidak begitu.Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak.Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat
“Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.
Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.
Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan
kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak
dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini
dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.
Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu.
Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti
disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.
Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa
runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah.
Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa.
Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.
Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulismakam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.
Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri
Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).
Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu.
Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa.
Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi
Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya
berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok
pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan
letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini
tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran
Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau
daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untukmenghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi.
Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.
ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan. Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit.Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir
Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus
runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan
Gajah Mada.jadi kutipan tulisan anda mencederai keluhuran agama islam
maaf untuk raja majapahit pada masa itu bukanya bhre kertabumi(brawijayaV)
Brawijaya v (bre kertabhumi) di jatuhkan oleh girindrawardhana (yg mengklaim sbg raja majapahit kediri),, jadi bukan oleh raden Patah/ Demak,,
baru setelah itu majapahit kediri/ Daha gantian dihancurkan olh Demak pada masa sultan trenggono..
Posting Komentar
Leave Your Comment. Thanks