Oleh : Dahlan Iskan
BEGITU banyak bupati/wali kota di Indonesia, tapi jarang yang menonjol. Di antara yang sedikit itu adalah wali kota Solo, bupati Sragen, bupati Lamongan yang dulu (saya belum mengenal reputasi bupati yang sekarang), bupati Wakatobi di Sulawesi Tenggara, wali kota Ternate, wali kota Bau-Bau di Pulau Buton, bupati Asahan, bupati Berau di Kaltim, dan wali kota Surabaya (baik yang bambang D.H. maupun penggantinya). Masih ada beberapa lagi memang, tapi tidak akan seberapa.
Kini dalam posisi sebagai direktur utama Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero), saya lebih banyak lagi mengenal, bergaul, dan berinteraksi dengan bupati/wali kota. Apalagi saya terus berkeliling Indonesia untuk melihat dan menyelesaikan problem kelistrikan Nusantara.
Dari situ, saya mencatat bupati/wali kota ini umumnya biasa-biasa saja:banyak berjanji di awalnya, lemah di tengahnya, dan menyerah pada akhirnya. Saya tidak tahu akan seperti apa bupati Tuban yang baru terpilih, H. Fathul Huda, ini. Apakah juga akan menjadi bupati yang biasa-biasa saja atau akan menjadi bupati yang tergolong sedikit itu. Bahkan jangan-jangan akan jadi bupati yang sama mengecewakannya dengan yang di gantikan.
Tidak Takut Tidak Jadi Bupati
Saya tahu dari para wartawan bahwa Fathul Huda adalah orang yang awalnya tidak punya keinginan sama sekali untuk menjadi bupati. Hidupnya sudah mapan dari bisnisnya yang besar. Dia adalah pengusaha yang kaya raya. Dia juga bukan tipe orang yang gila jabatan. Dia adalah orang yang memilih mengabdikan hidupnya di dunia keagamaan. Juga dunia sosial. Dunia kemasyarakatan. Sekolah-sekolah di bangun. Juga rumah sakit. Dia yang sudah sukses hidup di dunia sebenarnya hanya ingin lebih banyak memikirkan akhirat. Kalaupun berorganisasi, dia adalah ketua Nahdlatul Ulama (NU) Tuban.
Tapi, sejak enam tahun lalu, begitu banyak orang yang menginginkannya menjadi bupati Tuban. Itu pun tidak dia respons. Begitu banyak permintaan mencalonkan diri dia abaikan. Tahun lalu, permintaan itu di ulangi. Juga dia abaikan. Menjelang pendaftaran calon bupati, dia malah pergi umrah ke Makkah. Baru ketika Gus Saladin (KH. Sholachuddin, kiai terkemuka dari Tulungagung, putra almarhum KH. Abdul Jalil Mustaqiem) meneleponnya, dia tidak berkutik. Sebab, Gus Saladin lebih hebat daripada bapaknya yang hebat itu. Begitu Gus Saladin menugaskannya menjadi bupati Tuban, dia sami’na waatha’na. dia kembali ke tanah air mendahului jamaah lainnya. Tepat pada tanggal penutupan pendaftaran dia tiba di Tuban. Tanpa banyak kampanye, dengan mudah dia terpilih dengan angka lebih dari 50 persen.
Cerita itu saja sudah menarik. Sudah bertolak belakang dengan tokoh yang dia gantikan yang dikenal sangat ambisius akan jabatan. Termasuk nekat mencalonkan diri lagi meski sudah dua kali menjadi bupati hanya untuk mengejar jabatan wakil bupati.
Sebagai sesama orang swasta yang terjun ke pemerintahan, saya bisa membayangkan apa yang dipikirkan Fathul Huda menjelang pelantikannya pada 20 Juni besok. Mungkin sama dengan yang saya bayangkan ketika akan dilantik sebagai Dirut PLN:Ingin banyak sekali berbuat dan melakukan perombakan di segala bidang.
Tapi, sebentar lagi, setelah dilantik nanti, Fathul Huda akan terkena batunya. Hatinya akan berontak. Mengapa tidak boleh melakukan ini, mengapa sulit melakukan itu, mengapa jadinya begini, mengapa kok begitu, mengapa sulit mengganti si Malas, mengapa tidak boleh mengganti si Lamban, mengapa si Licik duduk di sana, mengapa si Banyak Cakap diberi peluang, dan mengapa-mengapa lainnya.
Saya perkirakan, Fathul Huda akan menghadapi situasi yang jauh lebih buruk daripada yang yang saya hadapi. Di PLN, saya mendapat dukungan besar untuk melakukan perubahan besar-besaran. Mengapa? Sebab orang-orang PLN itu relatif homogen. Mayoritas mereka adalah sarjana, bahkan sarjana teknik yang berpikirnya logis. Mereka adalah para lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka di republik ini. Sebagai sarjana teknik, logika meraka sangat baik. Sesuatu yang logis pasti diterima. Ide – ide baru yang secara logika masuk akal langsung ditelan. Mereka memang sudah lama berada dalam situasi birokrasi yang ruwet. Tapi, dengan modal logika yang sehat, keruwetan itu cepat diurai.
Sedangkan Fathul Huda akan menghadapi masyarakat yang aneka ria. Ada petani, pengusaha. Ada politisi, ada agamawan. Politisinya dari berbagai kepentingan dan agamawannya dari berbagai aliran. Ada oportunis, ada ekstremis. Ada yang buta huruf, ada yang professor. Ada anak-anak, ada orang jompo. Yang lebih berat, Fathul Huda akan berhadapan dengan birokrasinya sendiri. Tidak saja menghadapi, bahkan akan menjadi bagian dari birokrasi itu. Di lautan birokrasi seperti itu, Fathul Huda akan seperti benda kecil yang dimasukkan dalam kolam keruh birokrasi. Di situlah tantangannya.
Fathul Huda bisa jadi kaporit yang meskipun kecil bisa mencuci seluruh kolam. Atau Fathul Huda hanya bisa jadi ikan lele yang justru hidup dari kolam keruh tersebut. Pilihan lain, Fathul Huda yang cemerlang itu hanya akan jadi ikan hias yang tentu saja akan mati kehabisan udara segar.
Birokrasi itu “binatang” yang paling aneh di dunia: kalau diingatkan dia ganti mengingatkan (dengan menunjuk pasal-pasal dalam peraturan yang luar biasa banyaknya). Kalau ditegur, dia mengadu ke bekingnya. Seorang birokrat biasanya punya beking. Kalau bukan atasannya yang gampang dijilat, tentulah politisi. Atau bahkan dua-duanya. Kalau dikerasi, dia mogok secara diam-diam dengan cara menghambat program agar tidak berjalan lancar. Kalau dihalusi, dia malas. Kalau dipecat, dia menggugat. Dan kalau diberi persoalan dia menghindar.
Intinya: ide baru tidak gampang masuk ke birokrasi. Birokrasi menyenangi banyak program tapi tidak mempersoalkan hasilnya. Proyek tidak boleh hemat. Kalau ada persoalan jangan dihadapi, tapi lebih baik dihindari. Dan keputusan harus dibuat mengambang. Pokoknya, birokrasi itu punya Tuban sendiri, Tuhannya adalah peraturan. Peraturan yang merugikan sekalipun.
Fathul Huda tentu tahu semua itu. Sebagai pengusaha (mulai perdagangan sampai batu bara), dia tentu merasakan bagaiamana ruwetnya menghadapi birokrasi selama ini. Tapi, sebagai pengusaha pula, Fathul Huda tentu banyak akal. Kini saya ingin tahu, seberapa banyak akal Fathul Huda yang bisa dipakai untuk mengatasi birokrasinya itu. Apalagi birokrasi Tuban sudah begitu kuatnya dibawah bupati yang amat birokrat selama 10 tahun.
Yang jelas, Fathul Huda sudah punya modal yang luar biasa, tidak takut tidak jadi bupati! Itulah modal nomor satu, nomor dua, nomor tiga, nomor empat, dan nomor lima. Modal-modal lainnya hanyalah nomor-nomor berikutnya. Tidak takut tidak jadi bupati adalah sapu jagat yang akan menyelesaikan banyak persoalan. Apalagi kalau Fathul Huda benar-benar bertekad untuk tidak mengambil gaji (hehe…. Gaji bupati tidak ada artinya dengan kekayaannya yang tidak terhitung itu), tidak menerima fasilitas, kendaraan dinas, HP dinas, dan seterusnya seperti yang begitu sering dia ungkapkan.
Banyak akal, kaya raya, dan tidak takut tidak jadi bupati. Ini adalah harapan baru bagi kemajuan Tuban yang kaya akan alamnya. Pantai dangkalnya bisa dia jadikan water front yang indah. Pantai dalamnya bisa dia jadikan pelabuhan yang akan memakmurkan. Pelabuhan Surabaya sudah kehilangan masa depannya. Tuban, kalau mau, bisa mengambil alihnya!
PDI Perjuangan sudah dikenal memiliki banyak bupati/wali kota yang hebat. Surabaya, Solo, dan Sragen. Muhammadiyah juga sudah punya Masfuk. Kini PKB punya tiga menonjol, di Banyuwangi, Kebumen, dan Tuban. Akankah tiga bupati itu bisa membuktikan bahwa tokoh nahdliyin juga bisa jadi pemimpin daerah yang menonjol?
Tapi, birokrasi akan dengan mudah menenggelamkan mimpi-mimpi mereka dan mimpi besar Fathul Huda di Tuban. Di Tuban –lah kita akan menyaksikan “pertunjukan” yang sangat menarik selama lima tahun ke depan. Pertunjukan kecerdikan lawan keruwetan. Fathul Huda bisa memenanginya, dikalahkan, atau hanya akan jadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Sebuah pertunjukan yang panjang dan melelahkan. (Sumber Tulisan : HudaNoor Center Blog)
BEGITU banyak bupati/wali kota di Indonesia, tapi jarang yang menonjol. Di antara yang sedikit itu adalah wali kota Solo, bupati Sragen, bupati Lamongan yang dulu (saya belum mengenal reputasi bupati yang sekarang), bupati Wakatobi di Sulawesi Tenggara, wali kota Ternate, wali kota Bau-Bau di Pulau Buton, bupati Asahan, bupati Berau di Kaltim, dan wali kota Surabaya (baik yang bambang D.H. maupun penggantinya). Masih ada beberapa lagi memang, tapi tidak akan seberapa.
Kini dalam posisi sebagai direktur utama Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero), saya lebih banyak lagi mengenal, bergaul, dan berinteraksi dengan bupati/wali kota. Apalagi saya terus berkeliling Indonesia untuk melihat dan menyelesaikan problem kelistrikan Nusantara.
Dari situ, saya mencatat bupati/wali kota ini umumnya biasa-biasa saja:banyak berjanji di awalnya, lemah di tengahnya, dan menyerah pada akhirnya. Saya tidak tahu akan seperti apa bupati Tuban yang baru terpilih, H. Fathul Huda, ini. Apakah juga akan menjadi bupati yang biasa-biasa saja atau akan menjadi bupati yang tergolong sedikit itu. Bahkan jangan-jangan akan jadi bupati yang sama mengecewakannya dengan yang di gantikan.
Tidak Takut Tidak Jadi Bupati
Saya tahu dari para wartawan bahwa Fathul Huda adalah orang yang awalnya tidak punya keinginan sama sekali untuk menjadi bupati. Hidupnya sudah mapan dari bisnisnya yang besar. Dia adalah pengusaha yang kaya raya. Dia juga bukan tipe orang yang gila jabatan. Dia adalah orang yang memilih mengabdikan hidupnya di dunia keagamaan. Juga dunia sosial. Dunia kemasyarakatan. Sekolah-sekolah di bangun. Juga rumah sakit. Dia yang sudah sukses hidup di dunia sebenarnya hanya ingin lebih banyak memikirkan akhirat. Kalaupun berorganisasi, dia adalah ketua Nahdlatul Ulama (NU) Tuban.
Tapi, sejak enam tahun lalu, begitu banyak orang yang menginginkannya menjadi bupati Tuban. Itu pun tidak dia respons. Begitu banyak permintaan mencalonkan diri dia abaikan. Tahun lalu, permintaan itu di ulangi. Juga dia abaikan. Menjelang pendaftaran calon bupati, dia malah pergi umrah ke Makkah. Baru ketika Gus Saladin (KH. Sholachuddin, kiai terkemuka dari Tulungagung, putra almarhum KH. Abdul Jalil Mustaqiem) meneleponnya, dia tidak berkutik. Sebab, Gus Saladin lebih hebat daripada bapaknya yang hebat itu. Begitu Gus Saladin menugaskannya menjadi bupati Tuban, dia sami’na waatha’na. dia kembali ke tanah air mendahului jamaah lainnya. Tepat pada tanggal penutupan pendaftaran dia tiba di Tuban. Tanpa banyak kampanye, dengan mudah dia terpilih dengan angka lebih dari 50 persen.
Cerita itu saja sudah menarik. Sudah bertolak belakang dengan tokoh yang dia gantikan yang dikenal sangat ambisius akan jabatan. Termasuk nekat mencalonkan diri lagi meski sudah dua kali menjadi bupati hanya untuk mengejar jabatan wakil bupati.
Sebagai sesama orang swasta yang terjun ke pemerintahan, saya bisa membayangkan apa yang dipikirkan Fathul Huda menjelang pelantikannya pada 20 Juni besok. Mungkin sama dengan yang saya bayangkan ketika akan dilantik sebagai Dirut PLN:Ingin banyak sekali berbuat dan melakukan perombakan di segala bidang.
Tapi, sebentar lagi, setelah dilantik nanti, Fathul Huda akan terkena batunya. Hatinya akan berontak. Mengapa tidak boleh melakukan ini, mengapa sulit melakukan itu, mengapa jadinya begini, mengapa kok begitu, mengapa sulit mengganti si Malas, mengapa tidak boleh mengganti si Lamban, mengapa si Licik duduk di sana, mengapa si Banyak Cakap diberi peluang, dan mengapa-mengapa lainnya.
Saya perkirakan, Fathul Huda akan menghadapi situasi yang jauh lebih buruk daripada yang yang saya hadapi. Di PLN, saya mendapat dukungan besar untuk melakukan perubahan besar-besaran. Mengapa? Sebab orang-orang PLN itu relatif homogen. Mayoritas mereka adalah sarjana, bahkan sarjana teknik yang berpikirnya logis. Mereka adalah para lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka di republik ini. Sebagai sarjana teknik, logika meraka sangat baik. Sesuatu yang logis pasti diterima. Ide – ide baru yang secara logika masuk akal langsung ditelan. Mereka memang sudah lama berada dalam situasi birokrasi yang ruwet. Tapi, dengan modal logika yang sehat, keruwetan itu cepat diurai.
Sedangkan Fathul Huda akan menghadapi masyarakat yang aneka ria. Ada petani, pengusaha. Ada politisi, ada agamawan. Politisinya dari berbagai kepentingan dan agamawannya dari berbagai aliran. Ada oportunis, ada ekstremis. Ada yang buta huruf, ada yang professor. Ada anak-anak, ada orang jompo. Yang lebih berat, Fathul Huda akan berhadapan dengan birokrasinya sendiri. Tidak saja menghadapi, bahkan akan menjadi bagian dari birokrasi itu. Di lautan birokrasi seperti itu, Fathul Huda akan seperti benda kecil yang dimasukkan dalam kolam keruh birokrasi. Di situlah tantangannya.
Fathul Huda bisa jadi kaporit yang meskipun kecil bisa mencuci seluruh kolam. Atau Fathul Huda hanya bisa jadi ikan lele yang justru hidup dari kolam keruh tersebut. Pilihan lain, Fathul Huda yang cemerlang itu hanya akan jadi ikan hias yang tentu saja akan mati kehabisan udara segar.
Birokrasi itu “binatang” yang paling aneh di dunia: kalau diingatkan dia ganti mengingatkan (dengan menunjuk pasal-pasal dalam peraturan yang luar biasa banyaknya). Kalau ditegur, dia mengadu ke bekingnya. Seorang birokrat biasanya punya beking. Kalau bukan atasannya yang gampang dijilat, tentulah politisi. Atau bahkan dua-duanya. Kalau dikerasi, dia mogok secara diam-diam dengan cara menghambat program agar tidak berjalan lancar. Kalau dihalusi, dia malas. Kalau dipecat, dia menggugat. Dan kalau diberi persoalan dia menghindar.
Intinya: ide baru tidak gampang masuk ke birokrasi. Birokrasi menyenangi banyak program tapi tidak mempersoalkan hasilnya. Proyek tidak boleh hemat. Kalau ada persoalan jangan dihadapi, tapi lebih baik dihindari. Dan keputusan harus dibuat mengambang. Pokoknya, birokrasi itu punya Tuban sendiri, Tuhannya adalah peraturan. Peraturan yang merugikan sekalipun.
Fathul Huda tentu tahu semua itu. Sebagai pengusaha (mulai perdagangan sampai batu bara), dia tentu merasakan bagaiamana ruwetnya menghadapi birokrasi selama ini. Tapi, sebagai pengusaha pula, Fathul Huda tentu banyak akal. Kini saya ingin tahu, seberapa banyak akal Fathul Huda yang bisa dipakai untuk mengatasi birokrasinya itu. Apalagi birokrasi Tuban sudah begitu kuatnya dibawah bupati yang amat birokrat selama 10 tahun.
Yang jelas, Fathul Huda sudah punya modal yang luar biasa, tidak takut tidak jadi bupati! Itulah modal nomor satu, nomor dua, nomor tiga, nomor empat, dan nomor lima. Modal-modal lainnya hanyalah nomor-nomor berikutnya. Tidak takut tidak jadi bupati adalah sapu jagat yang akan menyelesaikan banyak persoalan. Apalagi kalau Fathul Huda benar-benar bertekad untuk tidak mengambil gaji (hehe…. Gaji bupati tidak ada artinya dengan kekayaannya yang tidak terhitung itu), tidak menerima fasilitas, kendaraan dinas, HP dinas, dan seterusnya seperti yang begitu sering dia ungkapkan.
Banyak akal, kaya raya, dan tidak takut tidak jadi bupati. Ini adalah harapan baru bagi kemajuan Tuban yang kaya akan alamnya. Pantai dangkalnya bisa dia jadikan water front yang indah. Pantai dalamnya bisa dia jadikan pelabuhan yang akan memakmurkan. Pelabuhan Surabaya sudah kehilangan masa depannya. Tuban, kalau mau, bisa mengambil alihnya!
PDI Perjuangan sudah dikenal memiliki banyak bupati/wali kota yang hebat. Surabaya, Solo, dan Sragen. Muhammadiyah juga sudah punya Masfuk. Kini PKB punya tiga menonjol, di Banyuwangi, Kebumen, dan Tuban. Akankah tiga bupati itu bisa membuktikan bahwa tokoh nahdliyin juga bisa jadi pemimpin daerah yang menonjol?
Tapi, birokrasi akan dengan mudah menenggelamkan mimpi-mimpi mereka dan mimpi besar Fathul Huda di Tuban. Di Tuban –lah kita akan menyaksikan “pertunjukan” yang sangat menarik selama lima tahun ke depan. Pertunjukan kecerdikan lawan keruwetan. Fathul Huda bisa memenanginya, dikalahkan, atau hanya akan jadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Sebuah pertunjukan yang panjang dan melelahkan. (Sumber Tulisan : HudaNoor Center Blog)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your Comment. Thanks