“Tidaklah disebut sebagai orang ahli ma’rifat orang yang memberi petunjuk (isyarah sesuatu) yang menjadi rahasia Allah yang haq, ia dapat menemukan dirinya lebih dekat kepada Allah daripada isyarahnya sendiri. Akan tetapi yang disebut ahli makrifat ialah orang yang tidak melihat dirinya mempunyai isyarah tertentu, karena kesirnaannya (fana’) dalam wujudnya Allah dan terbalutnya kenyataan diri dalam menyaksikan Allah.” (Al Hikam)
Dalam hikmah tersebut diterangkan tentang bagian-bagian orang yang sudah termasuk pada maqom fana’, yang karenanya tidak dijelaskan secara gamblang, tetapi hanya istilahnya saja yang dijelaskan, karena hikmah ini berhubungan dengan rasa yang ada pada orang yang ahli makrifat, yang pada umumnya kita sendiri belum pernah merasakannya, maka untuk lebih memudahkan para murid tasawuf dibuat beberapa istilah yang berkaitan dengan hal tersebut.
1. isyarat
2. ibaroh
3. maqom fana’ atau jam’i
4. maqom baqo’ atau farqi
Isyarat.
Pengertian isyarat disini bukan seperti pengertian mengarahkan (menuding) jari telunjuk kepada sesuatu, akan tetapi makna isyarah dalam hikmah ini berati, perkataan atau ucapan yang tidak jelas (kinayah) tentang segala sesuatu yang hanya orang tertentu yang bisa faham.
Ibaroh.
Ibaroh berarti suatu perkataan atau ucapan yang jelas (gamblang) tentang sesuatu hal yang semua orang bisa memahaminya.
Jadi isyarat adalah merupakan suatu istilah yang digunakan ahli tasawuf untuk menjelaskan tentang berapa hal, yang diantaranya
a. Asror, yaitu rahasia-rahasia Allah
b. Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang langsung dari Allah (tanpa belajar)
c. Mawajid, yaitu rasa cinta dan rindu yang teramat sangat, yang terkadang sampai membuat seseorang kehilangan akalnya dan bahkan sampai tidak sadarkan diri.
d. Dzauq, yaitu rasa yang diterima oleh hati atau bathin. Seperti rasa tenteram karena merasa nikmat (ladzat) dalam berdzikir, shalat, dan lain sebagainya.
Dzauq terbagi menjadi dua
Dzauq Bathinyyah, yaitu semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin
Dzauq Dhohiriyyah, yaitu semua rasa yang diterima oleh panca indera, seperti bau wangi, rasa sakit, pedas, asin, pahit, asam dan lain sebagainya.
Asror, ilmu laduni, mawajid dan dzauq adalah termasuk ‘aurat yang wajib untuk ditutupi dan tidak boleh diperlihatkan kepada khalayak umum. Hal ini dapat disamakan dengan ‘aurat dhohir dari tubuh manusia, semisal orang laki-laki, maka yang wajib ditutupi adalah antara pusar dan lutut, ssedang bagi wanita adalah seluruh anggota tubuh. Dan karena asror, ilmu laduni, mawajid, dan dzauq adalah termasuk ‘aurat, maka untuk menjelasakan perkara ini, para ahli tasawuf menggunakan isyarah (kinayah).
Al Fana’ (jam’u)
Para arif billah pasti melewati maqom jam’i. istilah lain dari maqomul jam’i adalah “wahdatul wujud” (manunggaling kawulo gusti). Istilah ini bukan berarti bahwa wujudnya Allah itu bersatu dengan wujudnya atau bercampur dengan wujudnya hamba, tetapi tiu hanyalah merupakan sebuah kiyasan atau istilah dari para sufi, yang mana timbulnya istilah itu setelah adanya pengalaman di dalam mengarungi samudera tasawuf.
Arti lain dari “manunggaling kawulo gusti” adalah , apabila ada seorang hamba melihat hamba atu ciptaan Allah yang lain, maka yang ia lihat bukan wujud ciptaan itu, tetapi yang terlihat adalah Allah. Bahkan ketika melihat dirinya sendiri pun ia tidak melihatnya, dan yang terlihat hanya Allah. Semuanya telah sirna, dan yang ada hanya Allah (dihati). Tidak wujud selain-Nya.
Pada “menyaksikan” itu, segala persoalan hilang dari dirinya karena dalam ke-esaan murni (al-fardaniyyat al-mahdhah). Dalam kondisi seperti itu ia terpesona dengan keindahan penyaksian itu, sehingga hilanglah kesadaran diri dan tidak lagi memiliki kemapuan untuk mengingat selain-Nya, bahkan tidak mampu untuk melihat diri sendiri. Pada saat dalam kesaksian seperti inilah sebagian dari para sufi seperti Al Hallaj dan Abu Yazid Al Busthami mengatakan, “anal haq” (ukulah kebenaran), “subahaani maa a’dhomi sya’ni” (maha suci aku dan betapa agung keberadaanku), “maa fil jubbati illa allahu” (tidak ada dalam jubahku ini kecuali Allah).
Apabila seseorang telah mengalami hal semacam ini, dan kemudian ia tidak mampu untuk menahan diri dengan cara tidak mengatakan secara ‘ibaroh (jelas), maka hal itu dianggap sebagai suatu pelanggaran. Hal ini juga pernah dialami Syaikh Lemah Abang ketika dipanggil oleh Sunan Kudus, “wahai Syaikh Siti Jenar”, dan beliau menjawab, “Syaikh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” ketika mengucapkan Itu, Syaikh Siti Jenar merasakan bahwa wujudnya sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah Allah semata. Dirinya sudah tidak nampak lagi, yang nampak hanya Allah semata.
Orang yang telah mencapai maqom fana’ atau jam’i, mereka menyadari bahwa semua yang dilakukannya adalah tindakan Allah. Syaikh Yusuf Al A’jami, “ siapa yang berkata pada maqom jam’i, maka yang berkata bukanlah dirinya, akan tetapi Allah yang berkata melalui lisan hambaNya”. Dan hal itu juga sesuai dengan hadist firman dalam hadits qudsi:
“fabii yasma’u wabii yabshuru wabii yanthiqu……..” (maka dengan Aku (Allah) ia mendengar, dan dengan Aku ia melihat, dan dengan aku pulalah ia berkata).
Setelah kaum ‘arifin melakukan pendakian mi’raj spiritual ke alam hakikat, mereka sepakat bahwa yang disaksikan oleh mereka hanyalah Allah Yang Haq. Tidak ada wujud selainNya. Dan dalam kesaksiannya ini masing-masing kaum ‘arifin memiliki memiliki dan cara kesaksian yang berbeda. Ada yang menyaksikan melalui “makrifat” dan “ilmu”, dan ada yang yang menyaksikan “dzauq” dan “al-hal”. Perumpamaan akan hal ini adalah seperti orang yang ingin mengetahui hakikat dari api. Ada yang mengetahui panas api melalui serentetan panjang imu pengetahuan dan perenungan, hingga meyakini bahwa itu panas, dan ada yang memperoleh keyakinan bahwa api itu panas karena ia sendiri sudah merasakan terbakar olehnya.
Saat menyaksikan itulah segala persoalan (syak) menjadi hilang dari diri mereka, karena tenggelam dalam keesaan murni (al-fardaniyat al-mahdhah). Mereka terpesona dengan keindahan penyaksian itu, kehilangan kesadaran diri, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengingat selainNya. Hingga terlontar ucapan-ucapan mutasyabihat.
Imam Ghazali dalam kitabnya, “Misykat al Anwar”, memberikan komentar mengenai hal itu, bahwa semestinya para perindu Allah itu “asyiqin” tidak mengungkapkannya di saat kondisi ekstase “fana’”, karena kessaksian yang dialaminya bukanlah kesatuan “ittihad” yang hakiki, melainkan hanya “ittihad” seperti yang dinyanyikan oleh orang yang rindu berat,
“Akulah yang mencintai dan yang aku cintai,
kami ini ini dua ruh yang bersemayam dalam satu raga.”
Atau ibarat orang yang melihat minuman anggur dalam gelas, dan mengira bahwa warna anggur itu adalah hiasan dari gelas itu sendiri. Sebagaimana dalam untaian syair:
“Gelas bening dan anggurpun bening,
Keduanya serupa dan menyatu.
Sekan anggur tanpa gelas,
Dan gelas pun tanpa anggur.”
Ungkapan tersebut tentu berbeda, “bahwa anggur adalah gelas”, dan “anggur seakan-akan gelas. “Bila kondisi ‘ittihad’ ini memuncak, maka disebut dengan “fana’ al fana’” seseorang yang mengalami kefana’an, tidak saja saja merasakan kehilangan dirinya, bahkan rasa kehilangan dirinya itu telah hilang dalam kesadarannya. Tidak menyadari bahwa dirinya tenggelam dalam kefana’an, dan juga tidak menyadari akan kefanaan dirinya. Sebab bila masih menyadari akan kefanaan dirinya, berarti masih dalam kondisi sadar. Para ‘arifin yang tenggelam dalam kefanaan ini dalam bahasa majaz disebut “ittihad”, dan dalam bahasa hakikat disebut “tauhid.” (misykat al-anwar).
Orang yang benar-benar mencapai maqom fana’ atau “wahdatul wujud”, akan merasakan bahwa dirinya sudah tidak ada. Juga tidak mengetahui bahwa dirinya sudah sampai maqom apa, maqom fana’kah? Atau maqom yang lainnya, seperti ‘Abid, Murid, ‘Arif. Dan juga ketika ketika menerima tajalliNya, apakah tajalli af’al, tajalli sifat, tajalli dzat. Dalam perjalanan ibadahnya semisal, shalat, puasa, dzikir, dan amal ibadah lainnya, tidak merasakan bahwa dirinya sudah melakukannya, yang melakukan adalah hanya Allah. Hal ini sebagaimana makna yang tersirat dalam kalimat “laa haula walaa quwwata illa billah.” Seperti mayit yang berada di tangan orang yang memandikannya.
Dan bahwa apa yang disebut sebagai kehilangan dirinya dalam Tuhan (fana’), yang dipandang sebagai tujuan para sufi, sesungguhnya adalah merupakan tahap awal dari perjalanan yang sesungguhnya. (Al-Ghazali)
Al Baqo’ (farqi).
Setelah melewati maqom jam’i atau maqom fana’ seseorang akan memasuki maqom farqi atau disebut juga maqom baqo’. Orang yang sudah mencapai maqom ini akan kembali normal. Apabila ia melihat Allah maka ia juga dapat melihat mahluk begitu juga sebaliknya, ketika ia melihat mahluk maka ia juga dapat menyaksikan “musyaahadah” Allah didalam hatinya.
Dalam maqom inilah orang-orang melihat Allah dengan mata hatinya “arbab al-bashaa’ir” ketika melihat sesuatu mereka menyaksikan Allah bersamanya. Sebagaimana yang telah dikatakan para ‘arifin, “tidak ada sesuatupun yang aku lihat, kecuali sebelumnya aku telah melihat Allah sebelumnya”, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firmanNya:
سَنُرِيهِمۡ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلۡأَفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ
“Kami akan memperlihatkan kapada mereka di ufuk-ufuk dan didalam jiwa mereka sendiri bahwa Allah itu haq.” {Q.S. Al-Fushilat : 53}
Lebih jelasnya untuk lebih mudah dimengerti, seperti kisah yang tersirat dalam hadits ifqi (para pembuat berita dusta) panjang yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. ketika beliau beliau tertinggal oleh rombongannya, hingga kemudian ditemukan oleh Sofwan bin Mu’athol yang sedang mencari sesuatu miliknya yang hilang, dalam keadaan sedang tertidur. Ketika Sofwan mengetahui bahwa orang yang tertidur itu adalah wanita istri Rosulullah saw. Ia menjadi kaget dan mengucap istirja’ (Inna Lillahi Wa inna ilahi roji’un). ‘Aisyah ra seketika terbangun ketika melihat lelaki itu dan segera menutupi wajahnya dengan cadarnya. Kemudian Sofwan merundukkan ontanya dan menyuruh ‘Aisyah ra. Menaikinya tanpa berkata sepatah katapun, hanya dengan isyarat. Setelah Sofwan melanjutkan perjalanannya dengan menuntun ontanya yang kini telah dinaiki ‘Aisyah ra. Hingga akhirnya dapat menyusul rombongan bala tentaranya.
Sejak saat itu kemudian tersebar berita dusta (gosip) yang dihembuskan oleh ahli fitnah, yang mula-mula dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Sawul, yang menuduh bahwa ‘Aisyah telah berbuat tidak terpuji. Hingga sesampainya tiba di Madinah, beliau jatuh sakit selama sebulan. Keadaannya menjadi makin tertekan ketika menyadari ada sedikit perubahan sikap Rosulullah, yang pada waktu itu juga sedang gelisah menunggu datangnya wahyu dari Allah yang berkaitan dengan masalah itu. Cerita tidak kami tulis secara detail disini. Singkat cerita, ‘Aisyah ra. Meminta kepada orang tuanya seraya berkata, “jawablah Rosulullah oleh kalian berdua!.” Akan tetapi kedua orang tuanya menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahui apa yang akan kami katakan.” Mendengar itu, ‘Aisyah ra. Berkata, “Sesungguhnya aku, Demi Allah telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh olehnya dan mau mempercayainya.
Seandainya saja aku katakan kepadamu bahwa aku tidak bersalah, sehingga engkau terpengaruh dan mau mempercayaiku. Dan seandainya aku mengaku padamu, bahwa aku telah melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau (Nabi) percaya kepadaku. Demi Allah aku tidak menemukan suatu perumpamaan yang kukatakan kepada engkau kecuali sebagaimana ayah Yusuf ketika mengatakan:
فَصَبۡرٌ۬ جَمِيلٌ۬ۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
“maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan” (Q.S. Yusuf 18)
Kemudian ‘Aisyah ra. Beranjak dari tempatnya dan langsung merebahkan diri di peraduannya. Sejak saat itu Rosulullah tidak lagi menetapi majlisnya hingga turun kepada beliau firman Allah Q.S An-Nur : 11-21, yang menyatakan kesucian ‘Aisyah ra. Wahyu itu membuat Rosulullah sangat senang. Dengan muka berseri-seri beliau sehera menyampaikan kabar gembira itu kepada ‘Aisyah ra. Maka ‘Aisyah ra. segera ditegur ibunya, “berdirilah, dan berterimakasihlah kepada Rosulullah.” Dan ‘Aisyah ra. berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” (ketika mengucap ini, ‘Aisyah ra. dalam kondisi fana’)
Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh ‘Aisyah ra. untuk bersyukur kepada Rosulullah, karen dengan lantaran beliaulah wahyu itu diturunkan dan ditujukan kepada ‘Aisyah ra.
Dalam hadits tersebut terkandung makna, bahwa disaat ‘Aisyah ra. mengatakan, “Tidak, Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” Beliau berada maqom fana’, karena diwaktu mendapat cobaan itu beliau hanya memohon kepada Allah, sampai akhirnya wushul kepada Allah dan beliau lihat hanya Allah semata, sedangkan Rosulullah yang hadir kala itu tidak tampak oleh beliau.
Lain halnya dengan Abu Bakar ra., disamping beliau melihat Allah, Rosulullah juga terlihat oleh beliau. Yang mana hal ini menandakan, bahwa Abu Bakar ra. telah berada dalam maqom baqo’. Dan hal itu sesuai dengan sabda Rosulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
من لم يشكر الناس لم يشكرالله
“Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia (makhluq), maka ia tidak bisa bersyukur kepada Allah ta’ala”
Orang yang telah mencapai maqom baqo’, adalah orang yang telah bisa mencapai maqom makrifat yang hakiki. Orang yang telah mencapai maqom baqo’, dan sebelumnya didahului kondisi fana’, disebutu dengan “firoq ba’dal jam’i”. sedangkan orang yang telah mencapai maqom baqo’ tanpa pernah sama sekali fana’, disebut “firoq qoblal jam’i”. pada yang disebutu terakhir, terkadang seseorang masih tergolong “ahlul hijab”. (Iqodhul Himam).
Orang yang berada pada maqom “firoq qoblal jam’i” , kebenaran ucapannya masih harus sesuai dan didasari Al-Qur’an, Al Hadits dan pendapat-pendapat para ulama’, karena perkataannya masih dimungkinkan salah dan benar. Dan perkataan orang yang berada pada maqom “firoq ba’dal jam’i, bisa dipastikan apa yang dikatakannya adalah benar. Karena apa yang mereka katakan adalah merupakan suatu pengalaman nyata melalui “dzauq”, seperti perumpaan api di awal tulisan ini.
Wallahu A’lamu Bishshowab.
Semoga Allah memberikan kepada kita semua istiqomah dan ikhlas dalam mengabdikan diri kepadaNya.
*Disarikan dari pengajian rutin malam selasa Al-Hikam*
Dalam hikmah tersebut diterangkan tentang bagian-bagian orang yang sudah termasuk pada maqom fana’, yang karenanya tidak dijelaskan secara gamblang, tetapi hanya istilahnya saja yang dijelaskan, karena hikmah ini berhubungan dengan rasa yang ada pada orang yang ahli makrifat, yang pada umumnya kita sendiri belum pernah merasakannya, maka untuk lebih memudahkan para murid tasawuf dibuat beberapa istilah yang berkaitan dengan hal tersebut.
1. isyarat
2. ibaroh
3. maqom fana’ atau jam’i
4. maqom baqo’ atau farqi
Isyarat.
Pengertian isyarat disini bukan seperti pengertian mengarahkan (menuding) jari telunjuk kepada sesuatu, akan tetapi makna isyarah dalam hikmah ini berati, perkataan atau ucapan yang tidak jelas (kinayah) tentang segala sesuatu yang hanya orang tertentu yang bisa faham.
Ibaroh.
Ibaroh berarti suatu perkataan atau ucapan yang jelas (gamblang) tentang sesuatu hal yang semua orang bisa memahaminya.
Jadi isyarat adalah merupakan suatu istilah yang digunakan ahli tasawuf untuk menjelaskan tentang berapa hal, yang diantaranya
a. Asror, yaitu rahasia-rahasia Allah
b. Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang langsung dari Allah (tanpa belajar)
c. Mawajid, yaitu rasa cinta dan rindu yang teramat sangat, yang terkadang sampai membuat seseorang kehilangan akalnya dan bahkan sampai tidak sadarkan diri.
d. Dzauq, yaitu rasa yang diterima oleh hati atau bathin. Seperti rasa tenteram karena merasa nikmat (ladzat) dalam berdzikir, shalat, dan lain sebagainya.
Dzauq terbagi menjadi dua
Dzauq Bathinyyah, yaitu semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin
Dzauq Dhohiriyyah, yaitu semua rasa yang diterima oleh panca indera, seperti bau wangi, rasa sakit, pedas, asin, pahit, asam dan lain sebagainya.
Asror, ilmu laduni, mawajid dan dzauq adalah termasuk ‘aurat yang wajib untuk ditutupi dan tidak boleh diperlihatkan kepada khalayak umum. Hal ini dapat disamakan dengan ‘aurat dhohir dari tubuh manusia, semisal orang laki-laki, maka yang wajib ditutupi adalah antara pusar dan lutut, ssedang bagi wanita adalah seluruh anggota tubuh. Dan karena asror, ilmu laduni, mawajid, dan dzauq adalah termasuk ‘aurat, maka untuk menjelasakan perkara ini, para ahli tasawuf menggunakan isyarah (kinayah).
Al Fana’ (jam’u)
Para arif billah pasti melewati maqom jam’i. istilah lain dari maqomul jam’i adalah “wahdatul wujud” (manunggaling kawulo gusti). Istilah ini bukan berarti bahwa wujudnya Allah itu bersatu dengan wujudnya atau bercampur dengan wujudnya hamba, tetapi tiu hanyalah merupakan sebuah kiyasan atau istilah dari para sufi, yang mana timbulnya istilah itu setelah adanya pengalaman di dalam mengarungi samudera tasawuf.
Arti lain dari “manunggaling kawulo gusti” adalah , apabila ada seorang hamba melihat hamba atu ciptaan Allah yang lain, maka yang ia lihat bukan wujud ciptaan itu, tetapi yang terlihat adalah Allah. Bahkan ketika melihat dirinya sendiri pun ia tidak melihatnya, dan yang terlihat hanya Allah. Semuanya telah sirna, dan yang ada hanya Allah (dihati). Tidak wujud selain-Nya.
Pada “menyaksikan” itu, segala persoalan hilang dari dirinya karena dalam ke-esaan murni (al-fardaniyyat al-mahdhah). Dalam kondisi seperti itu ia terpesona dengan keindahan penyaksian itu, sehingga hilanglah kesadaran diri dan tidak lagi memiliki kemapuan untuk mengingat selain-Nya, bahkan tidak mampu untuk melihat diri sendiri. Pada saat dalam kesaksian seperti inilah sebagian dari para sufi seperti Al Hallaj dan Abu Yazid Al Busthami mengatakan, “anal haq” (ukulah kebenaran), “subahaani maa a’dhomi sya’ni” (maha suci aku dan betapa agung keberadaanku), “maa fil jubbati illa allahu” (tidak ada dalam jubahku ini kecuali Allah).
Apabila seseorang telah mengalami hal semacam ini, dan kemudian ia tidak mampu untuk menahan diri dengan cara tidak mengatakan secara ‘ibaroh (jelas), maka hal itu dianggap sebagai suatu pelanggaran. Hal ini juga pernah dialami Syaikh Lemah Abang ketika dipanggil oleh Sunan Kudus, “wahai Syaikh Siti Jenar”, dan beliau menjawab, “Syaikh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” ketika mengucapkan Itu, Syaikh Siti Jenar merasakan bahwa wujudnya sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah Allah semata. Dirinya sudah tidak nampak lagi, yang nampak hanya Allah semata.
Orang yang telah mencapai maqom fana’ atau jam’i, mereka menyadari bahwa semua yang dilakukannya adalah tindakan Allah. Syaikh Yusuf Al A’jami, “ siapa yang berkata pada maqom jam’i, maka yang berkata bukanlah dirinya, akan tetapi Allah yang berkata melalui lisan hambaNya”. Dan hal itu juga sesuai dengan hadist firman dalam hadits qudsi:
“fabii yasma’u wabii yabshuru wabii yanthiqu……..” (maka dengan Aku (Allah) ia mendengar, dan dengan Aku ia melihat, dan dengan aku pulalah ia berkata).
Setelah kaum ‘arifin melakukan pendakian mi’raj spiritual ke alam hakikat, mereka sepakat bahwa yang disaksikan oleh mereka hanyalah Allah Yang Haq. Tidak ada wujud selainNya. Dan dalam kesaksiannya ini masing-masing kaum ‘arifin memiliki memiliki dan cara kesaksian yang berbeda. Ada yang menyaksikan melalui “makrifat” dan “ilmu”, dan ada yang yang menyaksikan “dzauq” dan “al-hal”. Perumpamaan akan hal ini adalah seperti orang yang ingin mengetahui hakikat dari api. Ada yang mengetahui panas api melalui serentetan panjang imu pengetahuan dan perenungan, hingga meyakini bahwa itu panas, dan ada yang memperoleh keyakinan bahwa api itu panas karena ia sendiri sudah merasakan terbakar olehnya.
Saat menyaksikan itulah segala persoalan (syak) menjadi hilang dari diri mereka, karena tenggelam dalam keesaan murni (al-fardaniyat al-mahdhah). Mereka terpesona dengan keindahan penyaksian itu, kehilangan kesadaran diri, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengingat selainNya. Hingga terlontar ucapan-ucapan mutasyabihat.
Imam Ghazali dalam kitabnya, “Misykat al Anwar”, memberikan komentar mengenai hal itu, bahwa semestinya para perindu Allah itu “asyiqin” tidak mengungkapkannya di saat kondisi ekstase “fana’”, karena kessaksian yang dialaminya bukanlah kesatuan “ittihad” yang hakiki, melainkan hanya “ittihad” seperti yang dinyanyikan oleh orang yang rindu berat,
“Akulah yang mencintai dan yang aku cintai,
kami ini ini dua ruh yang bersemayam dalam satu raga.”
Atau ibarat orang yang melihat minuman anggur dalam gelas, dan mengira bahwa warna anggur itu adalah hiasan dari gelas itu sendiri. Sebagaimana dalam untaian syair:
“Gelas bening dan anggurpun bening,
Keduanya serupa dan menyatu.
Sekan anggur tanpa gelas,
Dan gelas pun tanpa anggur.”
Ungkapan tersebut tentu berbeda, “bahwa anggur adalah gelas”, dan “anggur seakan-akan gelas. “Bila kondisi ‘ittihad’ ini memuncak, maka disebut dengan “fana’ al fana’” seseorang yang mengalami kefana’an, tidak saja saja merasakan kehilangan dirinya, bahkan rasa kehilangan dirinya itu telah hilang dalam kesadarannya. Tidak menyadari bahwa dirinya tenggelam dalam kefana’an, dan juga tidak menyadari akan kefanaan dirinya. Sebab bila masih menyadari akan kefanaan dirinya, berarti masih dalam kondisi sadar. Para ‘arifin yang tenggelam dalam kefanaan ini dalam bahasa majaz disebut “ittihad”, dan dalam bahasa hakikat disebut “tauhid.” (misykat al-anwar).
Orang yang benar-benar mencapai maqom fana’ atau “wahdatul wujud”, akan merasakan bahwa dirinya sudah tidak ada. Juga tidak mengetahui bahwa dirinya sudah sampai maqom apa, maqom fana’kah? Atau maqom yang lainnya, seperti ‘Abid, Murid, ‘Arif. Dan juga ketika ketika menerima tajalliNya, apakah tajalli af’al, tajalli sifat, tajalli dzat. Dalam perjalanan ibadahnya semisal, shalat, puasa, dzikir, dan amal ibadah lainnya, tidak merasakan bahwa dirinya sudah melakukannya, yang melakukan adalah hanya Allah. Hal ini sebagaimana makna yang tersirat dalam kalimat “laa haula walaa quwwata illa billah.” Seperti mayit yang berada di tangan orang yang memandikannya.
Dan bahwa apa yang disebut sebagai kehilangan dirinya dalam Tuhan (fana’), yang dipandang sebagai tujuan para sufi, sesungguhnya adalah merupakan tahap awal dari perjalanan yang sesungguhnya. (Al-Ghazali)
Al Baqo’ (farqi).
Setelah melewati maqom jam’i atau maqom fana’ seseorang akan memasuki maqom farqi atau disebut juga maqom baqo’. Orang yang sudah mencapai maqom ini akan kembali normal. Apabila ia melihat Allah maka ia juga dapat melihat mahluk begitu juga sebaliknya, ketika ia melihat mahluk maka ia juga dapat menyaksikan “musyaahadah” Allah didalam hatinya.
Dalam maqom inilah orang-orang melihat Allah dengan mata hatinya “arbab al-bashaa’ir” ketika melihat sesuatu mereka menyaksikan Allah bersamanya. Sebagaimana yang telah dikatakan para ‘arifin, “tidak ada sesuatupun yang aku lihat, kecuali sebelumnya aku telah melihat Allah sebelumnya”, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firmanNya:
سَنُرِيهِمۡ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلۡأَفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ
“Kami akan memperlihatkan kapada mereka di ufuk-ufuk dan didalam jiwa mereka sendiri bahwa Allah itu haq.” {Q.S. Al-Fushilat : 53}
Lebih jelasnya untuk lebih mudah dimengerti, seperti kisah yang tersirat dalam hadits ifqi (para pembuat berita dusta) panjang yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. ketika beliau beliau tertinggal oleh rombongannya, hingga kemudian ditemukan oleh Sofwan bin Mu’athol yang sedang mencari sesuatu miliknya yang hilang, dalam keadaan sedang tertidur. Ketika Sofwan mengetahui bahwa orang yang tertidur itu adalah wanita istri Rosulullah saw. Ia menjadi kaget dan mengucap istirja’ (Inna Lillahi Wa inna ilahi roji’un). ‘Aisyah ra seketika terbangun ketika melihat lelaki itu dan segera menutupi wajahnya dengan cadarnya. Kemudian Sofwan merundukkan ontanya dan menyuruh ‘Aisyah ra. Menaikinya tanpa berkata sepatah katapun, hanya dengan isyarat. Setelah Sofwan melanjutkan perjalanannya dengan menuntun ontanya yang kini telah dinaiki ‘Aisyah ra. Hingga akhirnya dapat menyusul rombongan bala tentaranya.
Sejak saat itu kemudian tersebar berita dusta (gosip) yang dihembuskan oleh ahli fitnah, yang mula-mula dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Sawul, yang menuduh bahwa ‘Aisyah telah berbuat tidak terpuji. Hingga sesampainya tiba di Madinah, beliau jatuh sakit selama sebulan. Keadaannya menjadi makin tertekan ketika menyadari ada sedikit perubahan sikap Rosulullah, yang pada waktu itu juga sedang gelisah menunggu datangnya wahyu dari Allah yang berkaitan dengan masalah itu. Cerita tidak kami tulis secara detail disini. Singkat cerita, ‘Aisyah ra. Meminta kepada orang tuanya seraya berkata, “jawablah Rosulullah oleh kalian berdua!.” Akan tetapi kedua orang tuanya menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahui apa yang akan kami katakan.” Mendengar itu, ‘Aisyah ra. Berkata, “Sesungguhnya aku, Demi Allah telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh olehnya dan mau mempercayainya.
Seandainya saja aku katakan kepadamu bahwa aku tidak bersalah, sehingga engkau terpengaruh dan mau mempercayaiku. Dan seandainya aku mengaku padamu, bahwa aku telah melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau (Nabi) percaya kepadaku. Demi Allah aku tidak menemukan suatu perumpamaan yang kukatakan kepada engkau kecuali sebagaimana ayah Yusuf ketika mengatakan:
فَصَبۡرٌ۬ جَمِيلٌ۬ۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
“maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan” (Q.S. Yusuf 18)
Kemudian ‘Aisyah ra. Beranjak dari tempatnya dan langsung merebahkan diri di peraduannya. Sejak saat itu Rosulullah tidak lagi menetapi majlisnya hingga turun kepada beliau firman Allah Q.S An-Nur : 11-21, yang menyatakan kesucian ‘Aisyah ra. Wahyu itu membuat Rosulullah sangat senang. Dengan muka berseri-seri beliau sehera menyampaikan kabar gembira itu kepada ‘Aisyah ra. Maka ‘Aisyah ra. segera ditegur ibunya, “berdirilah, dan berterimakasihlah kepada Rosulullah.” Dan ‘Aisyah ra. berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” (ketika mengucap ini, ‘Aisyah ra. dalam kondisi fana’)
Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh ‘Aisyah ra. untuk bersyukur kepada Rosulullah, karen dengan lantaran beliaulah wahyu itu diturunkan dan ditujukan kepada ‘Aisyah ra.
Dalam hadits tersebut terkandung makna, bahwa disaat ‘Aisyah ra. mengatakan, “Tidak, Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” Beliau berada maqom fana’, karena diwaktu mendapat cobaan itu beliau hanya memohon kepada Allah, sampai akhirnya wushul kepada Allah dan beliau lihat hanya Allah semata, sedangkan Rosulullah yang hadir kala itu tidak tampak oleh beliau.
Lain halnya dengan Abu Bakar ra., disamping beliau melihat Allah, Rosulullah juga terlihat oleh beliau. Yang mana hal ini menandakan, bahwa Abu Bakar ra. telah berada dalam maqom baqo’. Dan hal itu sesuai dengan sabda Rosulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
من لم يشكر الناس لم يشكرالله
“Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia (makhluq), maka ia tidak bisa bersyukur kepada Allah ta’ala”
Orang yang telah mencapai maqom baqo’, adalah orang yang telah bisa mencapai maqom makrifat yang hakiki. Orang yang telah mencapai maqom baqo’, dan sebelumnya didahului kondisi fana’, disebutu dengan “firoq ba’dal jam’i”. sedangkan orang yang telah mencapai maqom baqo’ tanpa pernah sama sekali fana’, disebut “firoq qoblal jam’i”. pada yang disebutu terakhir, terkadang seseorang masih tergolong “ahlul hijab”. (Iqodhul Himam).
Orang yang berada pada maqom “firoq qoblal jam’i” , kebenaran ucapannya masih harus sesuai dan didasari Al-Qur’an, Al Hadits dan pendapat-pendapat para ulama’, karena perkataannya masih dimungkinkan salah dan benar. Dan perkataan orang yang berada pada maqom “firoq ba’dal jam’i, bisa dipastikan apa yang dikatakannya adalah benar. Karena apa yang mereka katakan adalah merupakan suatu pengalaman nyata melalui “dzauq”, seperti perumpaan api di awal tulisan ini.
Wallahu A’lamu Bishshowab.
Semoga Allah memberikan kepada kita semua istiqomah dan ikhlas dalam mengabdikan diri kepadaNya.
*Disarikan dari pengajian rutin malam selasa Al-Hikam*