Sepi Pesanan, Pengrajin Pilih Jadi TKW Ke Malaysia
TUBAN – Nasib kerajinan bambu Dusun Pangklangan, Desa Mandirejo, Kecamatan Merakurak terancam hilang dari peredaran untuk selamanya. Para pengrajin memilih hijrah ke negeri jiran, Malaysia, lantaran semakin sepinya pesanan. Dari ratusan, kini hanya tersisa 5 pengrajin yang masih bertahan. Itupun harus dibarengi dengan menjalankan pekerjaan lain agar dapat bertahan hidup.Menurut pengakuan Darmi (49), nasib pengrajin anyaman bambu di Dusun Pangklangan, Desa Mandirejo, Kecamatan Merakurak, tak lagi cerah seperti lima tahun lalu, yang sempat kuwalahan menerima pesanan.
Bahkan, saat itu, sempat pula melayani pesanan turis dari Negara Belanda, Australia dan Inggris. Namun, saat ini keadaan itu berbalik 180 derajat. Dalam sebulan, kata Darmi, hanya ada satu pesanan yang datang. “Malah dua bulan lalu tidak ada sama sekali,” keluhnya.
Akibat, jelas Darmi, penghasilannya merosot tajam. Lima tahun lalu, katanya, sangat mudah mendapatkan uang Rp 1 juta dalam sebulan. Namun, saat ini, untuk mendapat Rp 100 ribu saja, dirinya harus menunggu tiga bulan lamanya. Guna mencukupi kebutuhan sehari-hari, Darmi terpaksa bekerja serabutan. Saat musim tanam padi, ia menjadi buruh tanam padi.
Terkadang, ia juga menjadi buruh cuci pakaian dan tukang masak. Menganyam bambu ia kerjakan pada sore atau malam hari, selepas pulang dari kerja serabutan. “Kerja apapun yang penting halal. Lha mau menganyam saja ya bisa mati kelaparan,” katanya.
Nasib serupa dialami Tasri (47), salah satu warga sekaligus pengrajin anyaman bambu di desa yang sama. Ibu tiga anak ini, bahkan sudah lama tidak lagi menganyam bambu. Ia memilih membantu suaminya menggarap sawah, karena anyaman bambu karyanya sudah sepi peminat. “Dulu sebulan bisa ratusan tenong terjual. Sekarang numpuk di dalam itu,” katanya, sambil menunjuk tumpukan tenong, tempat tisyu dan tempat buah-buahan dari anyaman bambu hasil karyanya, yang menumpuk di ruang tamu.
Untuk menghasilkan karya-karya yang memiliki keunikan dan daya tarik tersebut, Tasri mengaku butuh ketekunan dan ketelitian. Bahan-bahannya pun harus dipilih. Beruntung bahan-bahan tersebut tidak didatangkan dari tempat jauh, sehingga mereka masih bisa menekan biaya produksi. “Satu tenong seperti ini saya jual Rp 25 ribu. Sedang tudung lampu dan tempat buah Rp 15 ribu per biji,” kata Tasri.
Seminggu, kata Tasri, empat orang bisa menghasilkan 150-an tenong. Namun, karena sepinya pesanan, waktu sekian hari itu hanya mampu menghasilkan 2 sampai 4 tenong. Yang membuat miris, karena kerajinan bambu sudah tidak lagi dapat dijadikan sandaran ekonomi, banyak pengrajin yang memilih hijrah ke Malaysia, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Saat ini, dari 120 perajin yang pernah ada, tinggal 5 orang saja yang masih tekun dengan kerajinan bambu tersebut.
Kepala Desa Mandirejo, Ali Shobri, mengaku prihatin terhadap nasib perajin bambu yang berbalik 180 derajat tersebut. Ia membenarkan banyak pengrajin yang menjadi TKW karena menurunnya pesanan. “ Dulu sempat ada koperasi-nya segala. Sekarang pengrajin mengerjakan sendiri-sendiri, tidak berkelompok, sehingga pesanan menurun,” kata Ali Shobri.
Hal senada disampaikan Kasubdin Perindustrian Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban, Heri Purnomo. Ia mengaku, pihaknya belum bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan nasib kerajinan bambu yang ditinggal banyak pengrajinnya itu.
Namun, ia berjanji akan terus melakukan pembinaan dan membantu mempromosikan karya-karya tangan terampil wanita Dusun Pangklangan tersebut ke berbagai daerah. “Setiap pameran pasti mereka kita ajak. Kami juga berupaya mencarikan bantuan modal agar para pengrajin bisa tetap bertahan,” katanya. (jb8/jb2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your Comment. Thanks