Bagian Kedua
SELAIN menguras habis kekayaan alam
Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang
terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak
peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa
disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap
Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur
tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang
berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto
serendah-rendahnya.
Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi
peneliti sejarah tanah kelahirannya, menyatakan, "Jika Kamboja di bawah
rezim Pol Pot dikenal memilikiThe Killing Fields atau Ladang
pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah
ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak
ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja."
Begitu banyak pameran kekejaman dan
kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto,
sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh
akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah
sebelum dibakar habis pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh,
salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin
Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli
1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman
dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang
menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak
berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru.
Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid,
Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah
melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang
di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan
berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di
Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban yang
selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis
secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel
berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh', Feri mengawali dengan kalimat,
"Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun
sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan
Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang
Pu'uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk
bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang
terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan
jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan
Bukit Barisan..."
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan
belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai
kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga
nyaris di seluruh wilayah NAD. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal
tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya
alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan
Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan
melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun
kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan
pengumuman berisi tulisan "TEMPAT LATIHAN PERANG TNI". Sekitar 10
kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang
bertuliskan "SIMPANG CAMAT"; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun
tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya
tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga.
Tak heran jika Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai
pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer
dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan
hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat
berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik
pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat
jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di
desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah.
Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang
disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu
agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam
sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda
dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka
yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan
belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih
banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan
adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di
masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang
merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. "Menurut Tengku
Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid,
justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah
dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di
sini," tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh
pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya,
dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia
pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah
juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya,
Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu,
Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya.
Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan
Gerombolan Jubah Putih.
Pemerintah Aceh berusaha melunakkan
sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun
lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini
membuatnya menolak "pesantren sogokan" tersebut. Hal ini membuat
hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia
dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan ke
penjara dengan hukuman 20 tahun.(rd)
Ketika Habibie menggantikan Suharto dan
menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya
tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.
Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama
saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima
Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri
Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum
Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan
berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang
sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang
diamandemen di tahun 2002.
Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999,
pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat
dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh.
Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana
aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat
tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil
terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap
warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil
menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.
Sedari subuh keesokan harinya, Jumat
pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati
pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata
api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom
sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari
GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya hanya
100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai
bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata
serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau
dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki
Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.
Menjelang waktu sholat Jumat, para
santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala
nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang
menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya.
Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan
memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan
berjongkok menghadap sungai.
Aparat dengan suara keras dan mengancam
meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah
bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul
dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan.
Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena
radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh
aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal
itu antene radio biasa.
"Komandan pasukan memerintahkan agar
antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama
Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju
rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang
jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para
santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,"
tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul "Jubah Putih di
Beutong Ateuh".
Melihat anaknya terjatuh, secara refleks
Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara
memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah
dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal
Suharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh
enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram
darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan
alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu
naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah,
yang berada di tengah rimba.
Di tengah perjalanan menuju Takengon,
para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan
berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung
terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah
sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para
santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri
ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.
Sore hari, tentara memerintahkan warga
setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring
menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi
penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka
merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab
agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada di
pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata
didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk,
meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.
Setelah tragedi tersebut, warga Beutong
Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya,
para santri yang tersisa-kebanyakan perempuan tua dan anak-anak
kecil-membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan
dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki
cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan
surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti
seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah
terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian
terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke
pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai
pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur'an dan surat
Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin
tengah menanti hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka: Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di
antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap Muslim Aceh.
Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil
maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim
Aceh yang diseret ke pengadilan. Mereka masih bebas berkeliaran dan
bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan menikmati kekayaan
hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh. Dalam tulisan berikutnya akan
dipaparkan kejahatan-kejahatan HAM Suharto lainnya terhadap umat Islam,
seperti Tragedi Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya. (rd)
Pada awal 1980-an, rezim Suharto
menghendaki agar Pancasila dijadikan satu-satunya asas bagi seluruh
partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia. MPR
akhirnya mengukuhkan Pancasila sebagai asas tunggal (astung) di
Indonesia lewat Tap MPR No.11/1983 yang dituangkan dalam UU No.3/1985
tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta UU No.8/1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Penetapan Pancasila sebagai astung menuai
badai kontroversi di tengah masyarakat, terutama bagi umat Islam karena
hal tersebut telah nyata-nyata mengganggu akidah umat Islam. Walau ada
elemen umat Islam yang mau tunduk pada keinginan rezim fasis ini, namun
di berbagai tempat aksi unjuk rasa menentang ditetapkannya Pancasila
sebagai astung meledak di mana-mana. Para ulama dan dai yang iman dan
akidahnya masih lurus dan bersih, dengan tegas mengatakan jika astung
bertentangan dengan akidah Islam, sebab itu wajib hukumnya menolak.
Apalagi langkah-langkah Jenderal Suharto
ini lama-kelamaan mirip dengan apa yang dilakukan para pemimpin komunis
di negaranya. Jika negara komunisme memiliki partai negara yang
bertindak sebagai buldoser suara rakyat, maka Golongan Karya di masa
Suharto pun demikian. Jika negara komunisme mengkultuskan pemimpinnya
dan siapa pun yang berseberangan dengannya dihabisi, demikian pula
dengan yang dilakukan Suharto.
Bukan itu saja, di mulut penguasa fasis
ini, Indonesia katanya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, namun
kenyataannya rakyat kian banyak yang hidup melarat, umat Islam dipaksa
ikut program KB, di bidang ekonomi pengusaha sipit diberi keistimewaan
bahkan dengan mematikan pengusaha-pengusaha pribumi sekali pun, KKN di
sekitar Suharto gila-gilaan, penembakan misterius yang direstui Suharto
pun tengah meraja-lela, dan sebagainya. Apalagi saat itu Jenderal
Leonardus Benny Moerdhani yang dikenal sebagai jenderal islamophobia
sedang jadi anak emas Suharto, umat Islam terus-menerus ditindas.
Salah satu wilayah yang paling berani
menyuarakan kebenaran, menentang sikap represif rezim ini adalah Tanjung
Priok di Jakarta Utara. Para ulama dan dai setempat berkotbah dan
menyerukan agar umat Islam agar berani untuk kembali ke akidah Islam
yang sebenarnya, dan menentang thagut, dan melawan segala bentuk
kesewenang-wenangan, seperti halnya Musa a.s. menentang dan melawan
kediktatoran Firaun.
Dalam situasi panas seperti inilah, pada
Senin, 10 September 1984, Sersan Hermanu yang non-Muslim, Babinsa
setempat, tiba-tiba menyiram air got ke dinding Mushola Asy-Syahadah di
Gang IV Priok. Hermanu juga masuk mushola tanpa melepas sepatu larsnya
dan meninginjak-injak semua yang ada termsuk menginjak-injak Al-Qur'an.
Di saat Suharto berkuasa, menginjak-injak Al-Qur'an, bahkan membakarnya
sekali pun, adalah hal yang biasa.
Atas kelakuan Hermanu, warga marah.
Diseretlah motornya dan dibakar. Babinsa itu kabur. Tak lama kemudian,
empat pengurus mushola diciduk aparat. Saat itu tersiar kabar jika
penembak misteriusnya Benny Moerdhany akan menghabisi para mubaligh. Ini
kian memanaskan situasi.
Ba'da Maghrib, Rabu, 12 September 1984,
usai hujan, digelar tabligh akbar di Jalan Sindang guna menuntut Kodim
membebaskan empat pengurus mushola yang ditahan. Amir Biki berpesan pada
Yayan Hendrayana, salah seorang mubaligh, "Jangan takut-takut ngomong."
Akhirnya Yayan yang mendapat kesempatan keempat berteriak lantang, "Man Anshoru ilallah!?" Siapa yang sanggup membela agama Allah!? Dijawab para jamaah, "Nahnu anshorullah!" Kami sanggup!
Jamaahberjubel malam itu memenuhi lorong-lorong dan jalan di Priok. Tak kurang dari delapan puluh buahspeaker dipasang.
Puluhan ribu warga Priok memadati jalan. Banyak di antaranya ibu-ibu
dan gadis-gadis berjilbab, sesuatu pemandangan yang masih asing di tahun
itu. Entah mengapa, malam itu Yayan Hendrayana memiliki firasat jika
nanti sesuatu akan terjadi. Sebab itu dia memerintahkan agar para
perempuan dan anak-anak segera menyisih dari jamaah dan segera masuk
rumah terdekat jika terjadi apa-apa.
"...Sebab nanti tentaranya Benny akan
membantai saudara-saudara sekalian!" ujar Yayan saat bercerita pada
penulis di tahun 1998. "Padahal saya tidak tahu bila nanti benar-benar
terjadi pembantaian. Sayangomong begitu saja," tambahnya.
Usai Yayan, Syarifin Maloko naik podium.
Lalu Amir Biki. Tokoh Priok ini berkata lantang, "Saudara-saudara, para
ikhwan hamba Allah. Ternyata hingga kini tidak ada jawaban dari Kodim.
Ini berarti kita harus konsekuen dengan janji kita. Kepada
saudara-saudara, saya titip keluarga saya. Andai saya terbunuh malam
ini, tolong mayat saya diarak le seluruh Jakarta!
Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas.
Puluhan ribu jamaah Priok segera bergerak mendekati Kodim agar mau
memberikan jawaban. Namun tiba-tiba, terdengar rentetan tembakan. Jamaah
yang berada di barisan depan bertumbangan di aspal. Genangan air hujan
yang masih tersisa di aspal seketika berubah warna menjadi merah.
Situasi kacau. Tentara masih melepaskan rentetan tembakan dengan laras
senjata lurus menghadap jamaah. Ratusan jamaah Priok meregang nyawa.
Setelah jalanan sepi, ratusan mayat yang bergelimpangan di jalan segera
diangkut truk tentara, entah dibawa kemana. Mobil pemadam kebakaran
mondar-mandir menyemprotkan air ke aspal untuk menghilangkan genangan
darah yang ada di sana-sini. Aparat berjaga di semua tempat strategis
dengan senjata siap tembak.
Pembantaian ratusan jamaah pengajian
Priok oleh tentaranya rezim Suharto ini menimbulkan kemarahan umat Islam
di Indonesia. Untuk meredakannya, Benny Moerdhani menggandeng
Abdurrahman Wahid keliling pesantren di Jawa. Sedang Pangdam Jaya Try
Sutrisno mengamankan ibukota dari ekses tragedi besar tersebut. Tidak
ada media massa yang berani memuat tragedi tersebut dengan sebenarnya.
Sejumlah tokoh Priok yang berhasil lolos
dikejar dan ditangkap. Para ustadz dan aktivis Islam memenuhi penjara.
Siksaan bathin dan fisik mereka alami. Ba'da Priok, aktivitas dakwah
Islam benar-benar ditindas. Sedang pemurtadan meraja-lela. Inilah salah
satu bentuk kekejaman rezim Suharto terhadap dakwah Islam. Sampai detik
ini penegakan hukum atas Tragedi Priok masih belum tuntas. Misteri gelap
masih menyelubunginya.(rd)
Usai tragedi Priok, rezim Suharto
sepertinya menemukan momentum untuk kian bertindak represif terhadap
dakwah Islam. Intel disebar ke berbagai masjid untuk memata-matai
khotib. Jika ceramah sang khotib dianggap sedikit keras maka langsung
ditangkap dan dipenjara. Hal inilah yang menimpa Hasan Kiat, khotib dari
Priok yang hanya karena ceramahnya tegas dalam akidah Islam ditangkap
aparatnya Suharto.
Dalam tahanan rezim Suharto, penyiksaan
sudah menjadi santapan keseharian. "Ustadz Zubir dari Kalibaru disiksa
terus hingga dia meninggal dunia. Seorang tapol Islam bernama Robby
giginya digerus pakai gagang pistol, nyaris rontok semua. Sedang Tasrif
Tuasikal, terpidana kasus Priok, dadanya ditusuk bayonet.Alhamdulillah, dia kuat," ujar Hasan Kiat kepada penulis pada tahun 1998.
Oleh aparatnya Suharto, walau tahu jika
para tahanannya adalah orang-orang shalih, para ustadz, para aktivis
masjid, dan sebagainya, namun untuk memberatkan mereka, aparat berusaha
keras mengkaitkan mereka ini dengan PKI. Ini dinyatakan Hasan Kiat yang
mengalami sendiri hal seperti itu.
Hijrah ke Lampung
Karena kondisi Jakarta khususnya dan
Jawa pada umumnya sangat represif bagi dakwah Islam, sedangkan
kemaksiatan tambah lama tambah meraja-lela, hal ini membuat sekelompok
aktivis dakwah mengambil keputusan untuk melakukan hijrah. Lampung
menjadi tujuannya. Di tanah ini mereka bercita-cita membuka lahan baru,
membangun rumah dan perkampungan, lengkap dengan mushola sebagai tempat
ibadah dan belajar ilmu agama. Sebuah perkampungan islami, demikian
harapan mereka.
Sukardi merupakan salah seorang aktivis
dakwah yang memiliki harapan itu. Pemilik optik ‘Nusa Indah' di Priok
ini aktif di pengajiannya Nur Hidayat, seorang mantan atlet karateka
nasional. Pada tahun 1988, seorang sahabatnya bernama Haryanto
menyatakan jika mereka akan hijrah ke Lampung, tepatnya di Dukuh
Cihideung, Dusun Talangsari III, Lampung.
"Saya lalu rembukan dengan isteri.
Isteri saya hanya berkata, ‘Jika memang itu berada di jalan Allah, saya
siap kemana saja berangkat," tutur Sukardi kepada penulis saat bertemu
pada 1998. Akhirnya semua kacamata dagangan dilelang murah.
Pada 10 Januari 1989, Sukardi memboyong
Ismawati (20 th) sang isteri, dua anaknya yang masih kecil (Eka Triyani,
5 th, dan Ahmad Daulatul Indi, 3 th), serta seorang ipar, Sumarni (19
th).
"Bersama sepuluh keluarga saya berangkat
ke Lampung. Yang hijrah tahap pertama ini orang-orang lapangan semua.
Kami bukan pendakwah. Jadi kita-kita ini yang membuka lahan," ujar
Sukardi.
"Duapuluh hari pertama tak ada kegiatan
apa-apa. Kami hanya mengerjakan ibadah rutin dan menanam singkong.
Informasi dari Jakarta yang menyatakan Lampung sudah siap huni ternyata
belum apa-apa. Gelombang demi gelombang orang-orang Jakarta datang ke
Lampung dan bergabung bersama kami," lanjutnya.
Di saat itu, sosok perempuan berjilbab
merupakan suatu keanehan. Sebab itu, kedatangan para perempuan berjilbab
di Lampung disikapi oleh para warga asli, terlebih aparat pemerintah
daerahnya, sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Kepala desa setempat
pun melayangkan surat aduan kepada Camat Zulkifli Malik. Tak lama
kemudian surat dari Camat Zulkifli datang mengundang Warsidi, pimpinan
jamaah, agar datang ke kantor kecamatan.
"Entah apa isi surat aduan dari kepala
desa itu. Namun surat undangan dari camat sangat mencurigakan. Apalagi
kami sudah mendengar kabar jika Pak Warsidi akan ditangkap," papar
Sukardi.
Akhirnya setelah bermusyawarah, jamaah
sepakat untuk mencegah Warsidi menghadap Camat. Sebagai gantinya dibuat
surat yang ditulis oleh ipar Sukardi, Sumarni, yang berbunyi:
"Sebaik-baiknya umaro adalah yang mendatangi ulama. Dan seburuk-buruknya
ulama adalah yang mendatangi umaro." Lalu dilanjutkan dengan kalimat,
"...mengingat kesibukan kami mengisi pengajian di beberapa tempat, maka
kami mohon agar Bapak bisa datang sendiri ke tempat kami untuk melihat
sendiri kondisi sebenarnya."
Tak lama kemudian Camat dikawal beberapa
aparat datang menemui Warsidi. Lalu Camat itu mengundang kembali
Warsidi agar datang ke tempatnya. Jamaah menolak. Situasi memanas.
Setelah rombongan camat pulang, Warsidi memerintahkan agar jamaah
mempersiapkan diri bila kondisi memburuk.
"Akhirnya saya dan kawan-kawan bikin
panah di satu tempat di luar Cihideung. Tiba-tiba datang utusan Pak
Warsidi yang bilang jika pada tanggal 15 Februari nanti tentara akan
menyerang desa kami. Akhirnya kami balik ke Cihideung. Ada yang bilang
kami berlatih bela diri, latihan memanah, itu bohong semua. Kami malah
tidak mau ada konfrontasi dengan aparat di sini. Kami hanya ingin
membangun satu perkampungan yang islami, jauh dari kemaksiatan," tambah
Sukardi.
Pada 3 Febrari 1989, Danramil Kapten
Soetiman datang sendirian naik mot kemudian, 7 Februari 1989, sepasukan
tentara bersenjata lengkap menyerbu Cihideung. Jamaah Warsidi yang tidak
pernah menduga akan hal itu berlarian menyelamatkan diri sambil
berteriak, "Allahu Akbar!" Para perempuan dan anak-anak kecil beror ke
Cihideung. Jamaah menerimanya dengan baik. Jamaah malah menerangkan cara
bercocok tanam lada yang baik. Tak lama kemudian Kapten Soetiman
pulang. Situasi tetap berjalan biasa.
Lima harilarian menuju mushola yang
dianggapnya aman. Rumah Allah tidak akan mungkin diserang, pikir mereka.
Namun perkiraan mereka ternyata salah bear. Tentaranya rezim Suharto
ternyata tidak menganggap istimewa rumah Allah. Para tentara segera
mengepung mushola tersebut.
Dengan berteriak-teriak, tentara
memerintahkan agar semua yang berlindung di mushola segera keluar. Para
perempuan dan anak-anak kecil yang berlindung di dalam mushola kian
ketakutan. Mereka hanya bisa berdzikir dengan bibir yang gemetar
ketakutan. Melihat tidak ada yang mau keluar, para tentara itu langsung
menembaki mushola. Belum cukup dengan berondongan tembakan, mushola yang
penuh para perempuan berjilbab dan anak-anak kecil itu pun dibakar
habis. Tentaranya Suharto mengulangi kekejaman yang pernah dilakukan
tentara Zionis-Israel di Shabra-Satila. Semua yang ada di dalam mushola
menggapai syahid dengan cara amat memilukan.
Sukardi yang saat kejadian tengah dalam
perjalanan ke Jakarta lolos dari pembantaian itu. Hanya saja, isteri,
ipar, dan dua anaknya yang masih balita termasuk korban yang terpanggang
hidup-hidup di mushola. Walau demikian, Sukardi ditangkap di Jakarta
dan ditahan sampai dengan tahun 1994, bersama dengan Nur Hidayat,
Maryanto, dan yang lainnya.
Dengan mata merah menahan kesedihan yang
sangat, Sukardi menerawang, "Sampai saat ini saya masih suka mendengar
isak tangis anak-anak saya. Mereka memanggil-manggil saya, "Bapak..
Bapak..." Ya Allah, saya ingin melihat mereka lagi. Saya ingin tahu di
mana kubur mereka. Sampai sekarang, saya tidak tahu di mana mereka
dikuburkan. Mudah-mudahan, Allah mengumpulkan kami semua dijannah nanti.Amien."
Dalam Tragedi Lampung, aparat rezim Suharto telah membantai lebih dari
250 nyawa anak bangsa, sebagian besar perempuan dan anak-anak kecil yang
syahid terpanggang di dalam rumah Allah. Tragedi ini pun sampai
sekarang masih menyisakan banyak misteri. Penegakan hukum belum tuntas. (rd)
Tragedi Aceh, Tanjung Priok, Lampung,
hanyalah sebagian kecil kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa
rezim Suharto terhadap umat Islam. Belum lagi tragedi lainnya yang tidak
kalah mengerikan seperti yang ditimpakan pada rakyat Timor-Timur,
Papua, Kedungombo, dan sebagainya.
Seperti kata orang bijak, kehidupan
ibarat roda yang berputar. Maka ada saat naik, ada pula saat turun.
Demikian juga dengan kekuasaan Jenderal Suharto. Rezim yang lahir dari
genangan darah jutaan rakyatnya ini dengan dukungan penuh dari blok
imperialis dan kolonialis Barat, mengalami "masa keemasan" di akhir
tahun 1960-an hingga semester kedua tahun 1990-an. Selama hampir
sepertiga abad, Jenderal Suharto menjadi presiden dengan kekuasaan
nyaris absolut bagaikan raja atau pun diktator. Siapa pun yang berani
berseberangan keyakinan dan pandapat dengannya, walau ia bekas teman
paling setia pun, pasti akan disingkirkan.
Di masa awal kekuasaannya, rezim ini
menggadaikan kekayaan alam bangsa yang sedemikian besar kepada jaringan
korporasi Yahudi sekaligus merancang cetak biru perundang-undangan
penanaman modal asing Indonesia di Swiss (1967). Langkah ini diikuti
dengan "stabilisasi" perekonomian dan politik di dalam negeri, dengan
campur tangan penuh kekuatan imperialis dan kolonialis dunia seperti
Amerika Serikat dan Jepang.
Terhadap dakwah Islam, rezim Jenderal
Suharto bersikap sangat keras. Walau di awal naiknya kekuasaan umat
Islam sempat digandeng dengan mesra, namun setelah berkuasa, umat Islam
ditendang keluar dari pusat kekuasaan. Dakwah Islam menjadi barang haram
dan bahkan menjadi sasaran operasi intelijen di bawah komando Jenderal
Ali Moertopo hingga Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
Sepanjang tahun 1970-an, rezim Jenderal Suharto menikmati masa kejayaan dan kemakmuran dengan ‘Oil Booming'nya.
Di sisi lain, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga tumbuh dengan sangat
subur. Cendana menjadi pusat dari peredaran keuangan di negeri ini. Dan
banyak orang yang haus kekuasaan dan juga kekayaan secara gerilya maupun
terang-terangan merapat ke Cendana.
Pada akhir tahun 1980-an dan awal
1990-an, seiring perubahan kepentingan politis Amerika Serikat, di mana
era perang dingin sudah bisa dikatakan berakhir dengan tumbangnya Uni
Soviet dan imperium komunis di Eropa Timur, maka berubah pula orientasi
politis dari rezim Jenderal Suharto. Walau demikian ‘stabilitas politik
dan ekonomi' serta ‘Pancasila' masih menjadi tuhan yang tidak boleh
diganggu gugat.
Dakwah Islam yang sudah puluhan tahun
ditindas dengan amat represif, perlahan-lahan simpulnya dikendurkan oleh
Suharto. Banyak kalangan menyebut Suharto sudah bertobat dan akankhusnul khatimah.
Atribut-atribut keislaman seperti peci putih, sorban, dan jubah mulai
dikenakan oleh Jenderal yang tangannya berlumuran darah jutaan rakyatnya
ini. Jilbab secara perlahan juga mulai berkibaran di seantero negeri.
Tokoh-tokoh Islam dengan cepat dan-maaf-sedikit gegabah, menyebut hal
ini sebagai kebangkitan Islam di Indonesia, padahal baru sebatas kulit
luarnya saja. Sedangkan ‘tradisi' KKN tetap dilestarikan bahkan sekarang
sudah mengalami inovasi yang sangat luar biasa. Ke masjid sering namun
tetap saja gila memburu proyek-proyek yang sarat denganmark-up anggaran dan sebagainya.
Yoshihara Kunio, yang meneliti hubungan
bisnis dan politik kekuasaan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
menerbitkan bukunya yang akhirnya dilarang beredar oleh Suharto. Buku
tersebut berjudul "Kapitalisme Semu Asia Tenggara". Untuk Indonesia,
Kunio menyatakan jika pondasi perekonomian bangsa ini sebenarnya sangat
rapuh karena dibangun berdasarkan praktik KKN semata, sedangkan para
pengusaha kecil-menengah yang lokal nyaris hidup sendiri tanpa adanya
suatu proteksi atau pun perlindungan khusus dari pemerintah. Akibatnya,
kian hari kian banyak perusahaan lokal yang dicaplok oleh korporasi
asing.
Sebab itu, ketika tepat 100 tahun
gerakan Zionisme Internasional merayakan kelahirannya, dan salah seorang
pengusaha Yahudi dunia bernama George Soros memborong mata uang dollar
AS dari pasar uang dunia, maka meletuslah krisis keuangan yang berawal
dari Thailand dan terus merembet ke Indonesia. Harga membubung tinggi
dan banyak pengusaha hasil KKN ambruk. Jahatnya, para konglomerat kakap
yang amat dekat dengan Cendana malah melarikan diri ke luar negeri
dengan membawa uang rakyat Indonesia dengan nilai yang amat sangat
banyak. Uang hasil BLBI yang jumlahnya ratusan triliun rupiah dijarah
dan tidak pernah dikembalikan hingga detik ini. Indonesia meluncur pasti
menuju kebinasaan.
Dari berbagai tekanan yang dilakukan mahasiswa, sejumlah pejabat, dan pastinya juga Washington, Presiden Suharto akhirnyalengser pada Mei 1998.
Euphoria gerakan reformasi meledak.
Habibie jadi presiden, diganti Abdurrahman Wahid, lalu Megawati, dan
kemudian Susilo Bambang Yudhoyono. Gerakan reformasi sudah berusia
sepuluh tahun lebih, namun di lapangan, praktik-praktik peninggalan
rezim Suharto, yaitu KKN ternyata bukan berkurang namun malah tambah
marak dan inovatif dengan berbagai dalih danhujjah.
Malah sejumlah tokoh yang mengaku
reformis, dari yang sekuler sampai yang katanya fundamentalis, kini
nyata-nyata mendekati Cendana kembali yang memang masih memiliki
kekayaan materil yang luar biasa. Mereka beramai-ramai mengangkat
Suharto sebagai orang yang patut diteladani dan bahkan dikatakan sebagai
Guru Bangsa. Panglima besar KKN malah dijadikan Guru Bangsa. Ini
merupakan sesuatu yang "amat hebat dan sungguh fantastis".
Hal ini membuktikan kepada kita semua
betapa gerakan reformasi tenyata telah gagal total. Para Suhartois masih
kuat bercokol di negeri ini. Hari-hari menjelang Pemilu 2009 ini kita
bisa melihat dengan mudah siapa saja orang-orang Indonesia, baik itu
yang sekular maupun yang mengklaim sebagai reformis, yang sesungguhnya
Suhartois. Mereka membuka topengnya lewat iklan, lewat manuver politik,
dan sebagainya.
Padahal, demi menegakkan keadilan,
Suharto selayaknya diadili di muka pengadilan. Suharto adalah Jenderal
Augusto Pinochet-nya Chille, Jenderal Lon Nol-nya Kamboja, yang harus
tetap mempertanggungjawabkan segala apa yang pernah diperbuatnya selama
puluhan tahun di depan pengadilan yang sungguh-sungguh menegakkan
keadilan. Bukan malah dijadikan ikon bagi perubahan.
Untuk menutup serial ini, ada baiknya
kita mencamkan satu ayat Al-Qur'an surat Al-An'am ayat 70 tentang kaum
yang mempermainkan agamanya demi kenikmatan kehidupan dunia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan tinggalkanlah
orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan
senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.
Peringatkanlah (mereka) dengan al-Qur'an itu agar masing-masing diri
tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak
akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafa'at selain
daripada Allah..." (Tamat/rd)
Siapa Sebenarnya Soeharto: Bagian Pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your Comment. Thanks