"Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu." (QS Fathir 35:43)"Bangsa Indonesia saat ini menghadapi ancaman serius terkait dengan terorisme, kekerasan horizontal, dan radikalisasi yang terus terjadi di sejumlah tempat. Jika tak ditanggulangi secara serius, kondisi ini bisa berdampak pada harmoni kehidupan bangsa ke depan." [1]
Ucapan ini penulis ambil ketika SBY
berhadapan dengan seluruh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, para
Gubernur, dan walikota seluruh Indonesia saat Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Nasional di Jakarta, hari Kamis kemarin. Ucapan ini tentu
tidak lain adalah respon dari pemerintah terkait isu terorisme yang kini
marak. Oleh karenanya dalam kesempatan itu pula, Presiden SBY juga
berharap kepada pemuka agama untuk berperan aktif dalam mencegah gerakan
yang menodai dan merusak ajaran agama.
Namun sayangnya, dalam kesempatan itu,
SBY tidak merinci lebih jauh definisi sebenarnya dari radikalisme.
Sebab, kita sekarang berada pada suatu masa, dimana kebenaran dan
kekeliruan menjadi kabur. Istilah radikal dikonstruk sedemikian negatif
dan kemudian dilekatkan kepada seluruh gerakan Islam yang memiliki visi
pemurnian akidah, penegakkan syariat dan negara Islam, serta tidak lagi
tersekat hanya pada organisasi sesat seperti NII KW IX saja. [2]
Walhasil, klaim-klaim radikal dan Islam
seakan menjadi dua kutub yang tidak terpisahkan. Stigmatisasi Barat
terhadap Timur menjadi genderang yang wajib didengarkan ketimbang umat
Islam itu sendiri. Implikasinya, ajaran Islam menjadi redusi. Maka itu
ucapan radikal dari SBY disini perlu kirannya diluruskan dan menjadi
tanda kutip bagi kita semua bahwa betulkah radikalisme identik dengan
Islam?
Islam Radikal: Kerancuan Istilah
Setelah Samuel Huntington mengeluarkan
tesis bahwa Islam akan menjadi musuh baru Barat setelah komunisme
runtuh[3], semangat Perang Salib jilid II bagai kembali berkobar.
Penelitian-penlitian tentang Islam berlangsung begitu pesat. Istilah
Radikalisme menjadi hal lumrah untuk menyudutkan Islam.[4]
Tak tanggung-tanggung Al Zastrouw sampai
menyatakan bahwa radikalisme adalah (pasti) gerakan yang menyatakan
Islam adalah satu-satunya sumber penyelesaian atas berbagai problem
kemanusiaan, dan hanya dengan gerakan itulah mereka bisa mempertahankan
eksistensi dan martabat Islam.[5]
Paul Krassner dalam tulisannya "An
impolite intervire with Mort Sahl", di majalah The Realist tahun 1963
menyatakan asal muasal istilah Radical digunakan pada abad ke-18 bagi
para pendukung Gerakan Radikal. Istilah radikal kemudian menjadi istilah
yang sangat umum semata-mata untuk merendahkan kelompok yang mendukung
atau mencari reformasi politik, termasuk perubahan dramatis terhadap
tatanan sosial.
Dalam sejarahnya, tujuan awal dari
gerakan radikal adalah untuk meraih kebebasan dan melakukan reformasi
besar-besaran dalam pemilu Inggris. Gejala ini kemudian bergeser ke
Amerika dan Perancis yang kemudian diterjemahkan mereka lewat dengan
nama revolusi (Baca: Revolusi Perancis dan Amerika).
Pada awalnya, kelompok radikal
mengidentifikasikan dirinya sebagai pihak yang paling kiri dalam
menentang basis politik kanan, baik itu kaum Orleanis dan Bonapartis di
Perancis pada abad kesembilan belas.[6]
Dalam perkembangannya, radikalisme
kemudian terserap dalam pengembangan liberalisme politik, pada abad
ke-19 baik di Inggris dan benua Eropa. Dan kemudian istilah Radikal ini
justru datang untuk menunjukkan ideologi liberal yang progresif.
Oleh karenanya, di beberapa negara
Istilah radikalisme adalah bagian dari liberalisme seperti terjadi di
Swiss, Jerman, Bulgaria, Denmark, Italia, Spanyol dan Belanda, termasuk
juga Argentina, Chile dan Paraguay. Pada Negara-negara tersebutlah kaum
liberal sayap kiri justru mengusung ideologi radikal dengan berbagai
nama.
Menariknya baik di benua Eropa maupun
Amerika latin, radikalisme dikembangkan sebagai sebuah ideologi radikal
sangat anti-agama. Mereka mendukung liberalisme, bahkan sekularisme. Di
Inggris, misalnya, para radikal bersatu dengan para liberal daripada
Whig Party di dalam Liberal Party.
Di negara lain termasuk Bulgaria,
Denmark, Spanyol, Belanda, Argentina dan Chile, para liberal bersayap
kiri mengasas parti politik radikal mereka yang mempunyai pelbagai nama;
di Switzerland dan di Jerman, parti itu diberi nama Freisinn.
Oleh
karenanya menjadi aneh dan rancu, jika istilah radikal justru dikaitkan
kepada Islam dan gerakan Islam. Karena Islam mengharuskan hambanya
untuk taat kepada Allahuta'la. Sedangkan dalam sejarahnya, kaum radikal
justru memisahkan antara Negara dan agama (baca: sekularisme) sebagai
pilar kehidupan.
Islam menjadikan nilai dan tatanan
kehidupan sebagai sumber yang tetap, yakni ajaraNya. Sedangkan
radikalisme menjadikan relativitas sebagai prinsip dan tujuan.
Lalu kalau sudah begini: apakah tidak salah ketika mengatakan radikalisme bersumber dari ajaran Islam dan Islam itu radikal?
Siapa Radikal, Siapa Teroris?: Rancunya Istilah Islam Fundamentalis
Gerakan Islam sering kali dikait-katikan
dengan istilah fundamentalisme. Organisasi-orgnisasi yang mengusung ide
kembali kepada syariat Islam mendapatkan sebuah stigma negatif berupa
Islam Fundamentalis.[7]
Media-media
di Indonesia pun pasca pemberitaan (yang masih simpang siur) akan
syahidnya Usamah Bin Laden, langsung mengusung kembali jargon-jargon
Islam Fundamentalis lenngkap dengan distorsinya kepada gerakan-gerakan
yang terkait Al Qaeda.
Di Barat kasusnya hampir ironi. Karen
Amstrong yang digadang-gadang sebagai penengah antara Islam dan Barat,
masih melekatkan stigma fundamentalis kepada orang seperti Sayyid Quthb
hanya karena gagasan Sayyid Quthb yang menolak Demokrasi.[8]
Pun Amerika mereka gemar menyudutkan
nama-nama mujahid sebagai gembong yang mengusung Ideologi Islam yang
kuat seperti Abul Ala Al Maududi, Abdullah Azzam, Syekh Ahmad Yassin
hingga Abu Bakar Ba'asyir sebagai gembong Islam fundamentalis.
Padahal, dalam sejarahnya, istilah
fundamentalisme sama sekali tidak berkaitan dengan Islam. Sejarah
fundamentalisme berawal pada ajaran agama Kristen yang mengembangkan
kepercayaan mutlak terhadap wahyu, ketuhanan Al-Masih, mukjizat Maryam
yang melahirkan ketika masih perawan, serta kepercayaan lain yang masih
diyakini oleh golongan fundamentalis Kristen sampai sekarang. [9]
Lalu dengan begini apakah pas
fundamentalisme kemudian dikaitkan kepada Islam? Apakah tepat istilah
fundamentalisme menjadi kata tersendiri setelah menyebut nama Islam,
sama persis dengan pertanyaan: Apakah pas pula jika dikatakan George
Bush adalah seorang Kristen Salafi atau Obama adalah bagian dari
kelompok Kristen sekte Tauhid Hakimiyyah? Menjadi rancu.
Fundamentalisme: Pertikaian Kristen, Bukan Islam
Pada konteks aslinya, istilah
"fundamentalisme" adalah respon dari gerakan pemurnian teologi Kristen
sebagai perlawanan terhadap modernisme. Ia berusaha memurnikan ajaran
Kristen yang disusupi oleh sekularisme. Artinya fundamentalisme adalah
gerakan kontra terhadap "pembaharuan" yang secara spesifik hanya terjadi
pada lingkup Kristen.
Namun, pada penelusuran lebih dalam,
James Barr dalam bukunya "Fundamentalism" [10] mengatakan bahwa istilah
fundamentalisme bermula dari sebuah esai berjudul "Fundamentals" yang
muncul di Amerika sekitar tahun 1910-1915.
Dengan mengambil ciri gerakan kembali ke
asal, esai itu mewakili pandangan kaum tradisionil Kristen yang
khawatir kehancuran ajarannya oleh serangan inflitrasi modernisme dalam
pemikiran Kristen. Jadi, simpul Barr, fundamentalisme adalah studi yang
berfokus pada gerakan fundamentalisme di dalam kekristenan (dan bukan
dari agama Islam).
Sebagai sebuah organisasi yang
terorganisir, fundamentalisme mulai terjadi pada Gereja-gereja
Protestan, khususnya pada Gereja Baptis dan Gereja Presbyterian, di
Amerika Serikat pada awal abad 20. Gereja Presbiterian sendiri adalah
salah satu denominasi di lingkungan Gereja-gereja Protestan, yang
berakar pada gerakan Reformasi pada abad ke-16 di Eropa Barat.
Dari segi doktrin dan ajaran, Gereja
Presbiterian mengikuti ajaran-ajaran Yohanes Calvin, Reformator dari
Perancis Namun secara kelembagaan, Gereja Presbiterian sendiri muncul
dari Skotlandia, sebagai buah pekerjaan John Knox, salah seorang murid
dari Calvin.
Karena latar belakang ini, Gereja
Presbiterian pada umumnya ditemukan di negara-negara bekas koloni
Inggris, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, India, dan
lain sebagainya.
Gereja Presbiterian pun dapat ditemukan
di beberapa negara yang kuat dipengaruhi oleh Amerika Serikat, seperti
Korea Selatan dan Filipina. Di Indonesia sendiri, Gereja Presbyterian
terletak di Jalan Baru Ancol, Jakarta dengan nama Gereja Presbyterian
Injil Indonesia.
Istilah fundamentalisme juga kemudian
digunakan untuk para penjaga Injil (Evangelikal) dalam golongan
Protestan dan juga golongan Karzemy yang tumbuh pesat sebagai satu sekte
dalam agama Kristen. Menariknya, awal mengapa penamaan fundamentalisme
juga menyeret kaum Evangelis, karena di kalangan Kristen sendiri menolak
penamaan fundamentalis. Sebagian kelompok Kristen akhirnya lebih senang
ketika mereka disebut dengan Evangelisme Konservatif ketimbang Kristen
Fundamentalis itu sendiri.
Menurut
sebagian kalangan Kristen, fundamentalisme tidak mewakili dari akidah
yang mereka anut, namun hanya untuk golongan dan sekte tertentu. Mereka
kadang lebih suka menyebut dirinya dengan "Kristen sejati" atau Kristen
saja. Karena setiap kritikan yang ditujukan kapadanya berarti hujatan
atas agama itu sendiri. [11]
Oleh karenanya, fundamentalis Kristen
akhirnya didefinisikan oleh sejarawan George M. Marsden[12] sebagai
Evangelisme Protestan yang militan dan anti-modernis. Marsden kemudian
menjelaskan bahwa fundamentalis adalah orang Kristen Evangelis yang pada
abad ke-20 melakukan penentangan modernisme baik dalam sisi teologis
maupun perubahan budaya modern.
Selain itu, menurut James Barr,
fundamentalisme memang digerakkan oleh doktrin Bible untuk hidup secara
militan. Barr mengatakan kendatipun posisi Evangelikal umumnya mengakui
bahwa keselamatan diperoleh melalui Iman Kristus, namun bagi kaum
fundamentalisme, bahwa Iman kepada Krsitus tidak saja cukup. [13]
Jadi, penamaan menjadi fundamentalis
adalah hasil dari pertentangan antar golongan moderat Kristen dengan
mereka yang keras dalam menafsirkan beberapa ayat Bible. Hal ini menjadi
wajar karena dalam Kristen telah terjadi problem teks Bible, baik dalam
orisinalitas dan metode penafsiran. [14]
Karena faktor inilah kaum Protestan lalu
membentuk sejumlah organisasi pada 1902 yang dikenal dengan nama The
Society of The Holy Scripture. Organisasi ini menerbitkan 12 penerbitan
dengan nama Fundamentals semata-mata cara kelompok protestan untuk
melindungi kitab suci mereka dari proses desakralisasi oleh para
penafsir liberal.
Selain The Society of The Holy
Scripture, mereka juga mendirikan Lembaga Kristen Fundamentalis
Internasional dan Perhimpunan Fundamentalis Nasional pada tahun 1919.
Inilah akar fundamentalisme, sebuah pandangan hidup yang lahir sebagai
reaksi atas kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsiran injil yang
menafikan makna literal injil.[15]
Kerancuan Istilah dalam Islam.
Jadi pada dasarnya konteks
fundamentalisme tidak pernah memiliki kaitan langsung dengan Islam.
Istilah fundamentalisme murni lahir akibat pertentangan diantara teologi
Barat itu sendiri.
Lalu bagaimana mungkin ketika Barat
saling bertikai, Islam kemudian disuruh ikut campur menyelesaikannya dan
terkena getahnya? Inilah yang pernah disinggung Sayyid Quthb dalam
kitab Dirosah Islamiyah bahwa adalah mustahil jika Islam disuruh
menyelesaikan masalah dunia, sedang Islam sendiri belum dijalankan
sepenuhnya.
"Pertama-tama jadikan Islam memerintah
seluruh kehidupan. Kemudian setelah itu baru diminta pendapat Islam
tentang persoalan-persoalan yang ditimbulkan Islam itu sendiri, bukan
yang ditimbulkan suatu sistem lain yang bertentangan dengan Islam....
Jadi yang perlu diupayakan adalah laksanakanlah Islam itu sebagai suatu
keseluruhan, dalam sistem hukuman pemerintahan, dalam dasar
perundang-undangan dan dalam prinsip pendidikan. Baru setelah itu kita
dapat melihat apakah masalah-masalah yang ditanyakan itu masih ada dalam
masyarakat atau hilangan dengan sendirinya" [16]
Selain itu, konsekuensi logis lainnya
akan berimplikasi pada pemaknaan bahasa fundamentalis dalam Islam. Islam
tidak mengenal kosakata fundamentalisme, Islam hanya mengenal kata
Kaffah, syariat Islam, tauhid, dan lain sebagainya yang memliki jurang
pemisah panjang dengan dimensi fundamentalisme dalam Kristen.
Dalam Islam, hambanya hanya mengakui
bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, sedangkan fundamentalisme Kristen,
menolak hal itu dimana mereka mengaku bahwa Tuhan adalah Tiga dan Tiga
adalah Tuhan. Dalam Islam, Tuhan tidak beranak dan diperanakkan,
sedangkan dalam fundamentalisme Kristen justru hal itu harus ditolak,
karena bagi mereka Tuhan lahir dari proses persalinan dan kepercayaan
itu harus dijaga seutuhnya. Ketika dia memperbarui, maka ia menjadi
kafir.
Akhirnya, Islam tidak bisa disebut
dengan istilah Islam Fundamentalis, sebagaimana Kristen juga tidak bisa
disebut dengan Kristen Salafi. Islam juga tidak bisa dipanggil dengan
nama Fundamentalisme Islam sebagaimana Kristen juga tidak bisa dipanggil
dengan Salafi Jihadi Kristen. Islam pun tidak mengalami problem teks
Qur'an sebagaimana Kristen mengalami problem terhadap kitab sucinya.
Siapa Radikal, Siapa Teroris?: Ketika Kekejaman Kristen Tidak Disebut Teroris
Dalam kasus terorisme, media memang
terkenal tidak adil dalam memberitakan Islam. Islam menjadi agama yang
paling banyak disudutkan dalam aksi kekerasan. Jika pada kasus pemboman
Bali, Gerakan Amrozi Cs dicari sampai ke akar-akarnya, bahkan ditumpas
tak bersisa, menjadi lain ceritanya jika Kristen yang melakukan tindakan
sama. Seakan media menjadi bungkam seketika.
Dalam kasus kerusuhan Poso misalnya,
pengadilan hanya berhenti pada nama tiga orang terdakwa Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, dan tidak pernah diteruskan kepada
siapa dibalik mereka sampai ke anggota-anggotanya. Padahal jelas Tibo
cs bertindak atas nama gerakan.
Begitu juga dalam peberitaan
internasional. Bush dan serdadunya - yang dikorbankan semangat
Fundamentalisme Kristen - yang membunuh jutaan umat Muslim di Timur
Tengah, seakan-akan lenyap tanpa dosa. Media-media pun tidak ada yang
memanggil Bush dengan sapaan teroris. Berbeda jika Usamah Bin Laden yang
diberitakan, baik media cetak maupun televisi ramai-ramai mencapnya
teroris tanpa mendudukan kronologis dan pra-asumsi yang berkembang.
Kita tentu bertanya-tanya, entah mengapa
jika Kristen yang melakukan aksi kekerasan, stigma teroris menjadi
kebal bagi mereka. Padahal sejarah mencatat bagaimana kekejaman yang
dilakuakn Kristen bukanlah isapan jempol semata, mereka tidak hanya
membantai Islam, tapi juga Yahudi, kaum Pagan, pelaku bid'ah secara keji
dan tak beradab. Tulisan ini bukan untuk membangkitkan luka, namun bisa
jadi pelajaran bagi kita untuk meluruskan isu seputar terorisme atas
nama agama.
Pembunuhan Kaum Pagan [17]
Sejak agama Kristen diresmikan pada
tahun 315 M, kuil-kuil kaum Pagan makin banyak dihancurkan oleh pengikut
Kristen. Pendeta kaum pagan pun banyak dibunuh. Antara tahun 315 dan
abad ke-6, ribuan orang penyembah berhala disembelih. Dan itu semua
dilakukan atas nama misi Gereja.
Melaksanakan ritual ibadah pagan
menjadi sangat berbahaya bagi pelakunya dan terancam hukuman mati, ini
sudah terjadi mulai tahun 356 Masehi. Kaisar Kristen Theodosius
(408-450M) bahkan membunuh anak-anaknya sendiri karena mereka
bermain-main dengan patung-patung pagan. Menurut penulis Christian
Chronicles, kaisar yang melakukan hal tersebut didasari akan kepatuhan
terhadap seluruh ajaran Kristen.
Akhirnya, pada abad ke 6 seluruh hak
hidup para penganut Pagan dinyatakan dicabut. Bahkan sebelumnya pada
awal abad ke-4, filosof Sopratos dihukum mati atas perintah penguasa
Kristen.
Selanjutnya di tahun 415 M, Hypatia dari
Alexandria, seorang filosof wanita yang terkenal, diseret kemudian
dipotong-potong tubuhnya oleh orang-orang Kristen Koptik radikal yang
dipimpin oleh pendeta Peter. Hypatia sendiri adalah seorang ilmuwan
Yunani dari Alexandria Mesir. Hypatia dibunuh karena menjadi penyebab
kekacauan dalam agama. Ia dijuluki sebagai "pembela ilmu pengetahuan
yang gagah berani melawan agama". Dan beberapa pendapat mengatakan
kematiannya menandai akhir dari zaman Hellenistik dan dimulainya zaman
kegelapan (The Dark Ages).
Pembunuhan Atas Nama Misi Gereja
Selain membunuh secara kejam dan membabi
buta kaum pagan, Kristen juga melakukan terorisme dan kesadisan
terhadap mereka-mereka yang tidak mau ikut agamanya. Kaisar Karl
(Charlemagne), misalnya, pada tahun 782 M tanpa punya nurani memenggal
kepala 4500 orang Saxon, karena mereka tidak mau memeluk agama Kristen.
Kaum tani yang tidak mau membayar
sumbangan kepada Gereja pun mengalami hal serupa. Mereka dijatuhi
hukuman mati layaknya manusia penuh dosa. Jumlahnya pun tidak main-main,
antara 5000 sampai 11.000 pria, wanita dan anak-anak, dibunuh pada
tanggal 27 Mei 1234 dekat Altenesch (Jerman).
Lalu
pada abad ke 16 dan 17 M, tercatat puluhan ribu warga Irlandia dibunuh.
Pasukan Inggris terjun ke wilayah ini semata-mata demi menjinakkan
orang-orang Irlandia yang liar. Mereka di anggap tidak lebih dari
binatang yang hidup tanpa mengindahkan hukum-hukum Tuhan. Seorang
pimpinan tentara Inggris yang terkenal kejam adalah Humphrey Gilbert
yang memerintahkan untuk memenggal kepala semua tawanan.
Pembantaian Dalam Perang Salib
Belum lagi fakta, di Semlin dan
Wieselburg (Hungaria), pada tanggal 12 sampai 24 Juni 1096 ribuan orang
dihilangkan nyawanya secara kejam. Hanya dalam waktu hitungan hari dari
tanggal 9 sampai 26 September 1096 sekitar 1000 orang dibunuh di Nikala
atau Xerigordon (Turki).
Kita juga tidak lupa pada tanggal 11
Desember 1098, seribu orang Muslim di bantai di Marra. Tentara Salib
yang lapar karena kehabisan makanan sampai-sampai mengambil daging mayat
musuh yang sudah mulai membusuk dan memakannya (Christian Chronicle,
Albert Aquensis).
Kekejaman demi kekejaman Pasukan Salib
memang sulit dinalar oleh akal sehat. Setahun sebelumnya, pada tahun
1098, pasukan tentara bengis itu telah membunuh ratusan ribu kaum Muslim
di Arra't-un-Noman, salah satu kota di Syria.[18] Mereka bergerak atas
"sabda" Paus Urban yang menyeru "Killing these godless monsters was a
holy act: it was a Christian Duty to exterminate thi vile race from our
lands" atau "Membunuh para monster tak bertuhan itu adalah tindakan
suci: adalah kewajiban umat Kristen untuk memusnahkan angsa jahat itu
dari wilayah kita."
Salah satu saksi mata sampai-sampai
menyatakan bahwa ,"Genangan darah manusia di depan Kuil Solomon setinggi
pergelangan kaki orang dewasa". Sedangkan, salah seorang penulis
Kristen bernama Eckehad dari Aura mengatakan, "bahkan berlanjut hingga
musim panas, udara di seluruh Palestina masih tercemari oleh bau
mayat-mayat yang membusuk".
Pembunuhan Terhadap Orang Bid'ah (Inkuisisi)
Sejatinya, Inkuisisi (dengan huruf I besar) adalah istilah yang secara
luas digunakan untuk menyebut pengadilan terhadap bid'ah oleh Gereja
Katolik Roma. Undang-undang ini mengandung peraturan-peraturan yang
sangat keras. Sanksi pelaku bid'ah bahkan bisa sangat mengerikan
daripada kaum pagan yang jelas-jelas kafir dalam konsep mereka.
Dalam sejarahnya, Gereja Trinitarian
yang menjatuhkan keputusan bersalah kepada seorang pelaku bid'ah akan
memberikan hukuman tak berperikemanusiaan, dari mulai penyiksaan,
pembakaran sampai pemenggalan kepala.
Kasus ini sempat menimpa kaum
Manichaean. Kaum Manichean adalah salah satu sekte yang dinyatakan
bid'ah dalam Kristen karena melakukan praktek pengendalian kelahiran
(KB) yang tidak diajarkan oleh Gereja Katholik. Bayangkan karena hal
itu, ribuan orang Manichean menjadi korban seiring kampanye
besar-besaran ke seluruh kekaisaran Romawi antara tahun 372 M sampai 444
M.
Selain pembasmian yang menimpa kaum
Manichean, hal serupa juga menimpa kelompok Cathars. Orang-orang Cathars
pada dasarnya menganut Kristen dengan baik, tetapi pada sisi lain
mereka menolak segala peraturan Gereja Katholik Roma yang dirasa tidak
adil seperti pajak dan larangan pengendalian kelahiran.
Lantas hanya karena hal itu, Paus
Innocent III memerintahkan untuk membunuh para pengikut Cathars di tahun
1209. Kota Beziers (Perancis) pada tanggal 22 Juni 1209 pun
dihancurkan. Semua makhluk yang hidup di dalamnya pun dibantai tanpa
ampun. Jumlah korban menurut catatan sejarah berkisar pada angka 70.000
manusia, angka itu termasuk jumlah pemeluk Katolik yang menolak untuk
menyerahkan tetangga dan sahabatnya yang di kategorikan bid'ah oleh
Gereja.
Bid'ah lainnya yang juga dilakukan oleh
Waldensians, Paulikians, Runcarians, Josephite dan lain-lain juga
dienyahkan hingga tak bersisa. Ratusan ribu orang kemudian mati tak
bernyawa oleh kekejeman pihak gereja. Bahkan John Huss, yang mengkritisi
"Papal Infallibility" (Kemustahilan Paus berbuat salah) dan Surat
penebusan dosa, dibakar hidup-hidup di tiang pancang pada tahun 1415.
Yang juga turut mengalami kekejaman
selain Islam adalah kaum Yahudi. Max Margolis dan Alexander Marx dalam
"A History of Jewish People" menceritakan bahwa pada periode 612-620 M,
banyak kasus terjadi dimana Yahudi dibaptis secara paksa. Euric
(680-687) membuat keputusan bahwa seluruh orang Yahudi yang dibaptis
secara paksa ditempatkan dibawah pengawasan khusus pejabat dan pemuka
gereja. Setelah diKristenkan secara paksa, orang-orang Yahudi itu tetap
diawasi secara ketat oleh gereja, takut kalau-kalau mereka kembali
melakukan ibadah Yahudi.
Bahkan Raja Egica (687-701) membuat
keputusan bahwa semua Yahudi di Spanyol dinyatakan sebagai budak.
Keputusan sepihak itu tidak saja berlangsung dalam satu sampai dua
tahun, namun untuk selamanya. Harta benda kaum Yahudi disita dan mereka
diusir dari rumah-rumah sehingga tersebar ke berbagai provinsi. Lebih
dari itu anak-anak Yahudi yang berumur tujuh tahun ke atas diambil paksa
dari orangtuanya dan diserahkan kepada keluarga Kristen. [19]
Selanjutnya pada tahun 1096, saat Perang
Salib pertama, ribuan orang Yahudi dibunuh oleh Salibis Kristen di kota
Worm teparnya pada tanggal 18 Mei 1906, di Mainz. Lalu pada tanggal 27
Mei 1096 sekitar 1100 orang Yahudi juga mengalami pembantaian.
Dalam Perang Salib itu, tercatat 12.000
orang Yahudi dibunuh dimana tempatnya membentang dari Worms, Mainz,
Cologne, Neuss, Altenahr, Wevelinghoven, Xanten, Moers, Dortmund,
Kerpen, Trier, Regensburg, Prag hingga Metz di Perancis.
Sedangkan pada tahun 1348 nasib naas
juga dialami Yahudi, dua ribu orang diantara mereka dibunuh di Bassel
(Swiss) dan Strassbourg. Sedangkan pada tahun 1349 di Kota Praha, data
menyatakan bahwa 3000 orang Yahudi telah tewas terbunuh. Sedang pada 42
tahun selanjutnya, takni pada tahun 1391, kaum Yahudi Seville habis oleh
Kardinal Martines. Dalam catatan sejarah tercatat sebanyak 4000 orang
Yahudi tewas dan 25.000 lainnya dijual sebagai budak.
Ternyata itu pun belum berakhir. Abad 15
adalah abad yang menjadi saksi pembantaian besar-besaran kaum Yahudi
dan Muslim di Spanyol dan Portugal. Pada tahun 1483 misalnya, 13.ooo
orang Yahudi dieksekusi atas perintah komandan inquisisi Spanyol, Faray
Thomas de Torquemada.
Jatuhnya Granada ke tangan Spanyol juga
berbuah ancaman bagi Yahudi. Hanya dalam beberapa bulan antara akhir
April sampai 2 Agustus 1492, sekitar 150.000 kaum Yahudi diusir dari
Spanyol. Sebagian besar dari mereka kemudian mengungsi ke wilayah Turki
Utsmani yang menyediakan tempat aman bagi Yahudi.
Stand J Shaw dalam "The Jews of the
Ottoman Empire and the Turkish Republic" mencatat jumlah Yahudi yang
terusir dari Spanyol tahun itu sebanyak 160.000. Dari jumlah itu, 90.000
mengungsi ke Turki. 25.000 ke Belanda, 20.000 ke Maroko, 10.000 ke
Prancis, 10.000 ke Italia dan 5.000 ke Amerika. Yang mati dalam
perjalanan diperkirakan 20.000 orang. Sedangkan yang dibaptis tetap di
Spanyol sebanyak 50.000 orang.[20]
Kekejeman Terhadap Muslim di Guantanamo
Dalam perkembangan modern, terror
Kristen pun tidak pernah berhenti. Kebencian mereka terhadap Islam
dilakukan dalam jejak-jejak pemerintahan Amerika Serikat. Mereka tidak
saja membasmi jutaan umat Muslim di Afghanistan, Pakistan, Kaukasus,
Somalia, Palestina, Bosnia tapi juga menahan tawanan-tawanan Muslim di
penjara terkejam di Guantanamo. Umat Muslim disiksa, dilecehkan, namun
lagi-lagi tidak ada yang menyebut mereka dengan sapaan teroris, bahkan
sampai detik ini.
Lawrence Wilkerson, asisten mantan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Colin Powell, pernah membuat
pengakuan dalam suatu pernyataan yang ditandatangani untuk mendukung
gugatan yang diajukan oleh seorang tahanan Guantanamo, Adel Hassan
Hamad.
Hamad, seorang pria Sudan yang ditahan
di Teluk Guantanamo sejak Maret 2003 sampai Desember 2007, mengklaim
bahwa dia mengalami penyiksaan oleh agen-agen Amerika Serikat saat
berada di dalam tahanan dan mengajukan gugatan terhadap beberapa nama
pejabat Amerika.
Menurut Wilkerson, baik Dick Cheney
maupun Donald Rumsfeld sebenarnya mengetahui bahwa sebagian besar dari
742 tahanan yang pertama kali dikirim ke Guantanamo pada tahun 2002
adalah mereka yang tidak bersalah, tetapi yakin bahwa ada kemungkinan
untuk membiarkan para tahanan itu bebas.
Wilkerson, yang menjabat sebagai kepala
staf Powell sebelum ia meninggalkan pemerintahan Bush tahun 2005,
mengklaim bahwa sebagian besar tahanan, yang terdiri dari anak-anak
berumur 12 hingga kakek-kakek setua 93 tahun, tidak pernah melihat
seorang tentara Amerika Serikat sebelumnya, kecuali setelah mereka
ditangkap.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa
Rumsfeld dan Cheney pada khususnya, tidak punya belas kasihan bagi orang
yang tak bersalah dan harus mendekam di Guantanamo selama
bertahun-tahun, serta harus mengalami penderitaan hanya demi kepentingan
Amerika Serikat untuk membenarkan perang melawan terornya.
"Dia (Cheney) sama sekali tidak
memiliki kekhawatiran bahwa sebagian besar tahanan Guantanamo itu tidak
bersalah ... Jika ratusan individu yang tidak bersalah harus menderita,"
kata Wilkerson.
Selanjutnya, Mohammad al-Kahtani,
tersangka ke-20 peledakan serangan 11 September yang ditahan di Teluk
Guantanmo, Kuba dalam sebuah catatan harian penjara mengaku dipaksa
telanjang sambil menirukan gonggongan anjing saat menjalani penyidikan.
Saat tengah malam, kepala Kahtani kerap
digebyuri air dan telinganya dijejali musik-musik keras karena mendadak
harus menjalani pemeriksaan. Permintaannya untuk shalat senantiasa
ditolak.
Selain itu, warga Arab Saudi ini juga
diinterogasi di sebuah ruangan yang didekorasi dengan gambar-gambar
korban 11 September. Sudah tak terhitung berapa kali dia harus kencing
di celana karena ketakutan. Harga dirinya juga dicabik-cabik ketika
lehernya dikalungi gambar wanita setengah bugil. Sampai pernah suatu
saat dia minta diperbolehkan bunuh diri.
Gambar-gambar yang sangat mengagetkan
dunia, mengenai bagaimana para tahanan diperlakukan pernah beredar di
awal tahun 2002 silam. Kondisi mereka lemah, dalam pakaian oranye yang
menyala, mata, mulut, dan telinga disekap, kedua tangan dan kaki
dirantai. Sel-selnya seperti kandang ayam. Kawat- kawat berduri
melintang ke sana kemari siap merobek kulit dan daging.
Selanjutnya, Mohammed Sagheer, 52 tahun,
seorang da'i Pakistan yang telah dikeluarkan dari Guantánamo juga
menerima terror mental. Para sipir penjara menurutnya menggunakan obat
untuk mengendalikan para tahanan. Sagheer menyatakan bahwa para tentara
itu memberi tahanan sebuah tablet yang akan membuat para tahanan tak
sadarkan diri.
"Saya sembunyikan tablet-tablet itu di
bawah lidah, lalu membuangnya begitu penjaga tidak melihat," katanya.
Sagheer mengaku dua kali dihukum di sel isolasi yang gelap karena
meludahi penjaga, yang menurutnya telah memprovokasinya dengan melempar
Qur'an dan memukulinya.
Siapa Radikal, Siapa Teroris?: Pembantaian Muslim ASEAN Yang Tak Kunjung Usai
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang
berakhir hari Minggu menghasilkan beberapa kesepakatan penting. Salah
satu butir kesepakatan itu adalah tantangan bersama ASEAN untuk ikut
andil menghadapi isu terorisme demi menciptakan perdamaian. Hal ini
sebelumnya juga sempat ditegaskan Menteri Luar Negeri RI, Marty
Natalegawa yang menilai selepas kematian Usamah bin Laden, isu kejahatan
lintas negara termasuk terorisme bakal menjadi salah satu fokus
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.
Alangkah naifnya hasil KTT ASEAN itu
jika menyatakan ingin memberantas terorisme. Sebab sampai detik ini
beberapa Negara pembesar lah yang memiliki rekam jejak menindas umat
Islam di negaranya sendiri. Kisah umat Muslim sebagai minoritas
sangatlah menyedihkan di benua kecil Asia ini. Mereka hidup bagai anak
kehilangan induknya yang dipermainkan musuh. Mereka tumbuh dalam
bayang-bayang teror dan kematian. Masjid mereka dibakar, Al Qur'an
mereka dirampas, bahkan istri mereka diperkosa di depan suami mereka
sendiri. Sedangkan para pembesar-pembesar di negaranya berkumpul di
Jakarta demi menciptakan perdamaian di ASEAN.
Sungguh amat ironis. Sekalipun
menindas, mereka pun juga tidak disebut teroris. Tidak ada pengadilan
yang jelas untuk mengusut pembantaian terhadap Umat Muslim di Tenggara
Asia ini. Sekalipun berjalan, kasus ini pun akan larut ditiup angin,
karena hukum dapat dibeli. Seharusnya mereka dapat berkaca terhadap apa
yang dilakukan bangsa mereka terhadap Muslim di negara mereka sendiri.
Sebab kita jangan lupa, ditengah peluru
yang menyasar bumi Palestina, tidak jauh dari kita: Muslim Thailand,
Muslim Myanmar, dan Muslim Filipina masih hidup bergelimang pembantaian.
Yang ditindas disebut teroris, tapi sang penindas dianggap mampu
mencitapkan perdamaian. Inilah kisah saudaraku yang dibantai
"tetanggaku".
Nestapa Muslim Thailand Selatan: Pesantren Dibakar, Ustadz Dibunuh
Luka ini kita mulai ketika menyaksikan
kekerasan di wilayah Thailand Selatan. Angka yang dicatat oleh National
Reconciliation Council menyatakan, sepanjang tahun 2005 saja, tercatat
607 Muslim yang meninggal dunia.
Kekerasan di Thailand meningkat tajam
saat pemerintahan di bawah Komando Thaksin Sinawatra mulai berkuasa.
Beberapa tahun sebelumnya, wilayah Selatan relatif aman dan tenang. Tapi
hanya dalam dua sampai tiga tahun belakangan, jumlah kekerasana dan
tragedi berdarah terjadi beruntun dan meminta kroban dalam skala besar.
Peristiwa Masjid Grisek pada april 2004 dan tragedi Tak Bai pada 25
oktober 2004 menelan puluhan Korban jiwa.
Ini belum lagi kebijakan tembak di
tempat yang dikeluarkan oleh Thaksin untuk para pengedar dadah atau
narkoba. Ribuan orang telah menjadi korban pembunuhan ala petrus atau
penembak misterius seperti terjadi di Indonesia periode 1970-an.
Sebetulnya tuntutan masyarakat Muslim di
wilayah Selatan ini cukup sederhana, mereka menuntut Thailand yang dulu
bernama Siam untuk membebaskan lima provinsi di wilayah Selatan untuk
menentukan nasibnya sendiri. Tapi ada daya tuntutan itu berbuah nyawa,
ratusan orang meninggal karena terbunuh secara keji oleh pemerintah
Thailand. Tidak hanya itu, sejak 4 Januari 2004 sampai dengan 30 April
2007, dalam hanya waktu tiga tahun, sebanyak 166 sekolah sudah musnah
dibakar. Ini belum dihitung 40 sekolah di wilayah Yala, 56 sekolah di
wilayah Pattani, 8 sekolah di Narathiwhat dan dua lainnya di Songkhla.
Sementara itu, kasus ini belum
ditambah dengan sejumlah guru yang tewas karena pembunuhan. Menjadi guru
bukan pekerjaan ringan di Thailand Selatan, karena sepanjang tahun di
atas, 71 guru telah meninggal dunia akibat kekerasan dan penculikan yang
berakhir dengan kematian. [21]
Seorang guru Muslim berumur 30 tahun
juga telah dibunuh dengan tembakan di daerah Yarang, Provinsi Pattani
pada Kamis 24/7/2009. Guru tersebut ditembak saat dirinya sedang
mengendarai sepeda motor dalam perjalanan pulang. Bisa dikatakan guru
tersebut adalah guru keseratus yang dibunuh sejak pecah kerusuhan di
daerah mayoritas Muslim tersebut.
Tidak hanya membunuh umat Muslim dan
menutup sekolah, tapi pemerintahan Thailand juga memberangus Pondok
Pesantren yang ada di Pattani. Bagi pondok-pondok yang mau menuruti
tittah pemerintah mereka akan mendapatkan kucuran dana, subsidi dan
bantuan pendidikan. Pemerintah juga akan mengirim guru-guru beragama
Budha untuk mengajarkan Bahasa Siam dan Ilmu-ilmu lainnya di Pondok
tersebut. Maka terjadilah asimilasi besar-besaran pada bangsa dan budaya
Melayu menjadi bangsa Thai.
Tekanan demi tekanan untuk menghapuskan
sistem pendidikan pondok ini tak pernah surut sampai hari ini. Pondok
sering dijadikan sebagai sasaran militer Thailand. Mereka menggeledah
dan memeriksa dengan paksa pondok-pondok yang dituduh menyembunyikan
para pejuang Pattani atau melindungi mereka. Masyarakat Pattani merasa
aksi kekerasan dan tuduhan yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand ini
sebagai usaha menindas hak pendidikan yang harus didapat oleh Masyarakat
Pattani.
Selain institusi yang menjadi serangan
para pengajar di pondok, para ustadz dan juga dimasukkan sebagai daftar
hitam oleh pemerintah Thailand. Mereka dituduh sebagai pejuang
pembebasan Pattani. Banyak Ustadz yang dikejar-kejar oleh alasan ini.
Sejak 2004, banyak pula pondok yang akhirnya ditutup oleh pemerintah
Thailand oleh alasan serupa. Kisah pemberangusan pondok di Pattani ini
bisa ditelusuri dari penutupan paksa Pondok Tuan Guru Haji Sulong
al-Fatani yang bernama Madrasah Al-Ma'arif al-Wataniyah tahun 1926.
Kemudian secara massal militer Thailand memburu para guru dan Ustadz
pasca unjuk rasa besar-besaran tahunn 1975.
Sejak bulan juli 2004, Undang-undang
Darurat ditetapkan di Thailand Selatan. Korban akibat dari undang-undang
itu dari tahun 2004-2006 sudah melebihi angka 1300 orang. Korban-koran
berjatuhan mulai dari pihak Organisasi Pembebasan Pattani (PULO),
Mujahidin Islam Pattani (MIP), Barisan Revolusi Nasional (BRN), Barisan
Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), dan Front Persatuan Pembebasan
Pattani (FPPP).
Selain data kekerasan tentang guru,
rezim Thaksin adalah masa-masa terberat bagi umat Islam. Data yang
berhasil dihimpun, sejak januari 2004 sampai dengan November 2006, kasus
kekerasan yang terjadi di seluruh provinsi di Thailand Selatan sebanyak
5.769 kasus dan korban tewas sebanyak 1.098. Jumlah yang cedera
sebanyak 2920. Pada tahun 2005, tercatat jumlah lonjakan paling tinggi
kasus kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan Thailand, sebanyak 2.297
kasus dibukukan dan belum terselesaikan secara hukum sampai sekarang.
Selain itu, ribuan kaum Muslimin
cedera dan selama periode Januari-Juni 2008. Tercatat 301 orang tewas
dan 517 cedera. Kekerasan kali ini tercatat terbesar dan paling berdarah
pasca-Kerajaan Siam (Thailand) yang menganut Budha ini menganeksasi
kaum Muslimin Pattani di 1902. Mayat-mayat kaum Muslimin ditumpuk hingga
mencapai 6 tumpukan.
Di Masjid Al Furqan, yang terletak di
Desa Air Tempayan, terjadi pembantaian pada tahun 2009 yang
mengakibatkan tewasnya 10 orang kaum Muslimin, dan belasan lainnya
luka-luka. Kejadian keji ini dilakukan di dalam Masjid, tepatnya setelah
kaum Muslimin melaksanakan shalat Isya berjamaah. Kini, di depan masjid
saat ini selalu dijaga oleh penduduk setempat yang dikawal pemerintah
Thailand.
Sampai saat ini ratusan bahkan ribuan
umat Pattani masih dipenjara. Mereka di penjara akibat keikhlasan hati
mereka untuk menyatakan hak dan juga kesanggupan mereka untuk
perjuangkan sesuatu yang sangat berarti bagi mereka yaitu sebuah
Kemerdekaan Islam bagi tegaknya dienullah di Selatan Thailand.
Muslim Myanmar: Kalian Bukan Saudara Kami Orang Rohingya!
Selain itu kisah memilukan –bahkan
lebih pilu dari Pattani - terjadi di Myanmar. Kaum Muslim di Myanmar
berjumlah 15 % dari total penduduk yaitu sekitar 7 Juta orang. Kira-kira
seperduanya berasal dari Muslim Arakan. Arakan sendiri adalah sebuah
provinsi Myamnar bagian barat laut yang memiliki tapal batas dengan
Bangladesh.
Kaum Arakan selalu mendapat penindasan
yang kejam dari pihak pemeluk agama Budha. Di tengah siskaan itu mereka
tetap bertahan, kendati banyak pula umat Muslim Myanmar yang tidak kuat
atas tekanan itu dan memilih untuk memeluk Budha. Kaum Arakan itulah
yang kini bernama Rohingnya. [22]
Muslim Myanmar telah diberi label
sebagai salah satu kelompok yang paling teraniaya di dunia. Ditengah
hidup dirasa sulit, Pemerintah Myanmar pun menolak untuk mengakui
mereka. Mereka mengatakan etnis Rohingya bukanlah penduduk asli Myanmar
dan mengklasifikasikan mereka sebagai imigran ilegal, padahal mereka
telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. [23]
Pemerintahan Islam pun sempat
berlangsung beberapa abad di Arakan dan meluas sampai ke Selatan
Maoulmein yang pada saat itu yang menjabat pada era kegemilanganya
adalah Sultan Salim Shah Razagri (1593-1612 M). [24]
Selama 49 tahun kemerdekaan Burma
(Myanmar), jumlah Etnis Muslim Rohingya terus dikurangi, mulai dari
pengusiran hingga pembunuhan. Sampai saat ini hanya tersisa sedikit umat
Islam Rohingya di Selatan Arakan sedangkan di bagian Utara, Muslim
Rohingya masih menjadi mayoritas.
Untuk membatasi jumlah populasi umat
Muslim dan ghirah ketakawaan Umat, Penghancuran Masjid menjadi hal
biasa. Ratusan Masjid dan Madrasah telah dihancurkan oleh pihak junta,
bahkan Al Qur'an dalam banyak kasus dibakar dan diinjak-injak oleh
tentara sedangkan kitab-kitab tentang Islam disita dan dijadikan sebagai
bahan pembungkus. Pihak junta juga melarang kaum Muslim untuk melakukan
berbagai ibadah.
Tindak pemerkosaan terhadap Kaum
Muslimah pun menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi sehari-sehari
Muslim Rohingnya. Tak jarang, tentara tiba-tiba masuk ke dalam rumah
etnis Rohingya pada tengah malam dan memperkosa kaum wanita di depan
suami dan anak-anak mereka. Pengaduan terhadap perlakuan ini hanya akan
berujung pada penahanan oleh polisi terhadap pelapor bahkan dalam banyak
kasus sang pelapor malah disiksa dan dibunuh.
Di sisi lain pihak junta juga
mempersulit gadis-gadis Rohingya untuk menikah. Kita jadi ingat
bagaimana program depopulasi yang sering menjadi bagian dari proyek
Zionisme internasional untuk menahan laju umat Muslim. Bisa jadi apa
yang terjadi di Myanmar juga terkait misi ini.
Masyarakat juga dipekerjakan sebagai
porter militer. Mereka mendapat perlakuan kasar lagi pahit hingga sakit
dan kematian menjadi hal yang melekat dakam kehidupan sehari-hari Muslim
Rohingya. Pemerintah juga sering mengumumkan adanya relokasi penduduk
minoritas dengan alasan keamanan. Mereka disuruh pergi sedangkan tanah
milik kaum Muslim diambil oleh pemerintah. Data berikut akan
memperpanjang daftar perlakuan diskriminatif pemerintah yang berkuasa
terhadap Muslim Myanmar. [25]
-
Pada tahun 1998 ada laporan bahwa penduduk di Wuntho berkewajiban membayar uang untuk merenovasi pagoda. Bila tidak membayar dikenakan denda 5 hari kerja membangun Pagoda
-
Di Twantay, Yangoon, umat Muslim dibwajibkan untuk menjaga Pagoda Kuno Danoke. Penduduk boleh tidak menjaga, asal membayar uang pengganti
-
Di Bogalay, daerah Irawadi, pemerintah memerintahkan pembangunan jalan sepanjang 32 mil di desa Pechaung dan Kadone, atau mencari penggantinya dengan menyewa orang dengan bayaran $10-$20. Padahal jalan itu tidak ada kaitannya dengan kepentingan umat Muslim, karena diperuntukkan bagi peziarah Budha atas perintah rahib mereka di Pe-chaung.
-
Kelompok Islam di daerah Mangundaum di sekitar Arakan diperintahkan membangun pagoda di Dail Fara. Seorang penduduk berkomentar bahwa mereka diharuskan memerlukan 10 orang pekerja tiap minggunya.
-
Pemerintah melarang kaum Muslimin untuk masuk militer atau naik jabatan ke level perwira menengah. Pemerintah yang berkuasa akan mengajak mereka untuk pindah agama ke agama Budha.
Kelompok hak asasi manusia
menyebutkan, Angkatan Laut Thailand telah dua kali mencegat perahu yang
ditumpangi ratusan orang Rohingya kemudian meninggalkan mereka begitu
saja di laut lepas dalam perahu tanpa mesin dan perbekalan berupa
beberapa kantong beras. Akhirnya sejumlah kapal tenggelam dan sedikitnya
500 orang dilaporkan hilang.
Kisah pembantaian terhadap Muslim sampai
sekarang juga masih terjadi di wilayah Filipina Selatan. Bahkan
alumni-alumni jihad Moro yang pulang ke Indonesia, masih dikejar dengan
tuduhan terkait misi terorisme. Padahal dalam saejarah justru Pemerintah
Filipina yang disetir Amerika Serikat yang berperan sebagai pelaku
terorisme sejati.
Amerika membantu militer Filipina untuk
menyerang dan melakukan pengejaran kepada kelompok pejuang-pejuang
Muslim, terutama di wilayah Selatan. Tak hanya dengan pelatihan dan
instruktur, tapi juga dengan persenjataan dan juga data intelijen. Salah
satu buktinya, kelompok pejuang MILF pernah menembak jatuh pesawat
pengintai tanpa awal milik Amerika yang sedang melakukan aktivitas
mata-mata di wilayah Selatan Filipina. Pejuang MILF menembak sebuah
pesawat mata-mata milik Amerika di wilayah Talayan, Maguindanao pada
Desember 2008 silam.
Februari 2008 silam, sebuah tim
pencari fakta dibentuk untuk menyelidiki keberadaan militer Amerika di
markas-markas militer Filipina. Tim yang bernama The Citizens Peace
Watch ini menemukan fakta bahwa ada kehadiran militer Amerika di dalam
markas besar militer Filipina di Zamboanga, Mindanao. Ini adalah bentuk
operasi bersama antara militer Amerika Serikat dan Filipina untuk
menyerang pejuang-pejuang MILF. Pasukan Amerika Serikat yang ada di
markas ini menggunakan tanda pengenal DynCorp, sebuah badan semacam
kontraktor militer Amerika Serikat yang sangat kontroversial
keberadaannya.
Ini adalah secuil bukti betapa Amerika
memang telah memberikan bantuan yang substansial pada militer Filipina
untuk menindas kaum Muslim yang berada di wilayah Selatan. Bukti lainnya
yang bisa disatukan sebagai pecahan puzzle adalah proses migrasi
penduduk non-Muslim dari wilayah Utara ke Selatan yang mayoritas Muslim.
Perkampungan-perkampungan penduduk
Katolik dibangun di tengah-tengah wilayah perkampungan Muslim. Terjadi
perampasan-perampasan tanah komunitas Muslim yang ada di Mindanao
khususnya. Ironisnya, perkampungan yang merampas tanah penduduk Muslim
ini justru dijaga oleh militer Filipina, bahkan beberapa kampung
dipersenjatai. Tanah yang dirampas dan hak atas tanah itulah yang
diperjuangkan oleh kaum Muslimin di wilayah Selatan Filipina. Tapi
tragisnya, justru mereka yang dituduh sebagai pemberontak, kekuatan
separatis, bahkan diberikan julukan terorisme.
Perampasan tanah kaum Muslimin di
Mindanao memang terjadi secara sistematis dan dilakukan oleh pemerintah
Filipina. Pada tahun 1902 dibuat sebuah undang-undang dengan nama Land
Registration Act No 496 yang mewajibkan pendaftaran tanah dalam bentuk
tertulis dan di bawah sumpah. Tentu saja hal ini akan merugikan kaum
Muslimin di Selatan Filipina yang mewarisi tanah turun temurun dari
Kesultanan Islam Sulu di masa lalu.
Lalu muncul lagi peraturan baru,
Philippine Commission Act No 718 yang menegaskan bahwa hibah tanah dari
para Sultan, Datuk, atau kepala suku non-Kristen dianggap tidak berlaku
dan tidak sah jika dilakukan tanpa ada wewenang dan persetujuan dari
pihak pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang ini, semakin sulit
posisi kaum Muslimin di Mindanao.
Ada undang-undang lain, Public Land Act
No 296 yang disahkan pada Oktober 1903 yang menyatakan bahwa semua
tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No 496
adalah tanah negara. Sementara The Mining Law of 1905 adalah peraturan
yang menyatakan semua tanah negara di Filipina adalah bebas
dieksplorasi, dibeli dan dimiliki oleh warga negara Filipina dan Amerika
Serikat. Ditambah lagi dengan Cadastral Act of 1907 yang memberikan
kewenangan penuh kepada orang-orang yang lebih berpendidikan dan
mengerti tentang masalah pertahanan untuk melakukan klaim-klaim secara
legal.
Daftar masih panjang. Quino-Recto
Colonialization Act No 4197 adalah pintu gerbang yang dibuat untuk
penguasaan tanah kaum Muslimin di wilayah Mindanao. Pada awalnya,
pemerintah akan membuka jalan dan akses transportasi, selanjutnya
mengadakan survei pertanahan, dan tahap berikutnya adalah membangun
koloni-koloni baru yang didatangkan dari Utara agar kaum Muslimin tak
menjadi mayoritas di wilayah Mindanao. Di bawah program National Land
Settlement Administration, gelombang migrasi warga Kristen dari wilayah
Utara masuk dan melakukan klaim tanah di Mindanao. Nyaris seperti yang
terjadi di Palestina, Muslim Mindanao di Filipina Selatan mengalami
pengusiran dan penindasan. Bedanya, pemerintah Filipina melakukannya
seolah-olah dengan tindakan legal dan undang-undang.
Pengembalian hak itu pula yang
dituntut dan diperjuangkan oleh rakyat Mindanao, termasuk para pejuang
MILF. Selain dengan cara mengumpulkan kekuatan umat Islam dalam
perlawanan bersenjata, jalur diplomatik pun ditempuh dengan mengajukan
perundingan yang melahirkan Memorandum of Agreement Ancestral Domain
(MOA-AD). Tapi ironisnya, setelah melalui perundingan panjang yang rumit
dan melelahkan, yang difasilitasi beberapa negara OKI, di hari
penandatanganan, tiba-tiba saja Pengadilan Tinggi Filipina membatalkan
kesepakatan. Semestinya, peninjauan ulang terhadap hasil keputusan perlu
waktu sekurang-kurangnya tiga bulan.
Tapi dalam kasus ini, entah karena
tekanan apa tiba-tiba saja Malacanang menarik kesepakatan pada 5 Agustus
2008. Nota keberatan yang diajukan oleh Muslim Legal Assistance
Foundation (MUSLAF), Consortium of Bangsamoro Civil Society (CBCS) dan
juga Bangsamoro Women Solidarity Forum (BWSF) tidak digubris sama
sekali. Bahkan mereka tak diberikan kesempatan untuk bertanya langsung
pada Pengadilan Tinggi.
MOA-AD adalah sebuah perjanjian yang
mengatur pengakuan atas tanah leluhur di wilayah Mindanao pada penduduk
Muslim. Perjanjian ini dijalin antara dua komponen, pemerintah Filipina
dan MILF. Di dalam MOA-AD dirancang pengaturan tentang hal-hal prinsip
yang mengenai, teritorial, sumber daya alam, dan pengelolaannya merujuk
pada tanah warisan Bangsamoro.
Kesepakatan yang dirancang di Libya ini
diberi nama Tripoli Agreement on Peace pada 22 Juni 2001. Di dalamnya
diatur tentang hak rakyat Mindanao mengurus dan mengelola tanah dan
seluruh hasilnya secara independen. Termasuk memberikan hak kepada
Bangsamoro memiliki identitas sebagai bangsa Muslim tersendiri. Hal ini
sangat beralasan, sebab Mindanao merujuk pada era Kesultanan Sulu tak
pernah ditaklukkan dan tak pernah dijajah oleh Spanyol. Tapi ketika
Spanyol dikalahkan oleh Amerika, wilayah Mindanao dimasukan sebagai
wilayah yang diserahkan pada Amerika.
Pada tanggal 27 Juli 2008, terjadi
pertemuan yang sangat serius dan final di Kuala Lumpur. Semua telah
setuju dengan seluruh klausul yang ada dalam MOA-AD. Tapi ketika akan
ditandatangani secara resmi pada 5 Agustus 2008, semua kesepakatan
dibatalkan sepihak oleh pihak Filipina. PAustralia, Jepang dan Brunei
Darussalam. Diduga, ada tekanan-tekanan yang lebih besar berada di
belakang pembatalan kesepakatan.
Gagalnya penandatanganan ini memicu
kekerasan yang terjadi di wilayah Selatan, terutama Mindanao.
Pejuang-pejuang MILF yang merasa dikhianati oleh pemerintahan Filipina
secara sporadis melakukan serangan pada fasilitas-fasilitas militer
Filipina. Serangan balasan pun dilakukan, dan masyarakat sipil jatuh
sebagai korban. Sebagian besar sipil yang menjadi korban dituding oleh
militer Filipina sebagai pelindung dan menyembunyikan pemberontak.
Serangan yang terus terjadi, meluas
pada sasaran sipil yang dilakukan oleh militer Filipina. Rumah-rumah
dibakar, kekerasan serta pembunuhan terjadi pada masyarakat Muslim.
Kurang lebih, sampai hari ini ada 600.000 kaum Muslimin di Selatan
Filipina yang terusir dari tanah dan rumahnya, dan kini mereka menjadi
pengungsi. Di Maguindanao saja, data resmi yang berhasil dikumpulkan
tentara Filipina telah membakar 1.700 rumah penduduk yang dituduh
simpatisan MILF.[26]
Sekalipun Islam dituduh sebagai agama
anti semit oleh Yahudi. Sekalipun Islam dituduh sebagi penteror nomor
satu bagi Yahudi. Alangkah baiknya, mereka harus kembali membuka
lembaran hitam sejarah ketertindasan mereka. Sejarah "hitam" ketika
mereka justru diselamatkan oleh kaum Muslim saat dikejar-kejar oleh
NAZI. Islam lah yang dengan berbesar hati membuka pintu rumahnya untuk
dijadikan tempat bersembunyi oleh NAZI.
Kisah ini bukanlah roman picisan
belaka, atau rekayasa. Fakta ini benar-benar terjadi di sebuah Negara
bernama Albania. Sebuah Negara berbasis Muslim yang ditandai ketika
Khalifah Usmaniyah menguasai negara itu antara tahun 1385-1912.
Dalam jejak Perang Dunia II, kisah
pembantaian orang Yahudi menjadi catatan tersendiri bagi mereka. Mereka
dikejar dan dicari oleh bala pasukan NAZI. Dalam keadaan bingung, mereka
hampir putus asa, terlebih jalur pelarian menjadi satu hal yang sulit
mereka perjuangkan.
Dalam keadaan bimbang, mereka bagai
mendapatkan setitik cahaya. Dari informasi yang beredar, ada sebuah
negara berpenduduk ramah lagi baik terhadap tamu. Negara itu bernama
Albania. Sebuah Negara berbasis Muslim yang masuk ke teritori Eropa
bagian Tenggara –yang kini- berbatasan dengan Montenegro di sebelah
Utara, Serbia (Kosovo) di Timur laut, Republik Makedonia di Timur, dan
Yunani di Selatan. [27]
Sekitar
dua ribu orang Yahudi kemudian melarikan diri ke daerah Albania.
Disana, mereka dilindungi oleh keluarga-keluarga Muslim Albania di kota
Berat. Para Muslim Albania mempertaruhkan nyawa guna melindungi
pengungsi Yahudi yang meminta pertolongan.
Padahal menyembunyikan Yahudi risikonya
sangat tinggi, karena setiap saat patroli NAZI dapat datang ke
perkampungan dan menggeledah setiap rumah. Kalau sampai ketahuan
menyembunyikan Yahudi, maka kehilangan nyawa adalah ganjarannya.
Namun menurut catatan sejarah, tidak ada
satupun pengungsi Yahudi yang diserahkan oleh Muslim Albania pada pihak
NAZI. Dengan penuh keikhlasan dan kebesaran hati, para Muslim Albania
melindungi pengungsi Yahudi dengan segenap cara.
Justin Kerber, seorang Rabbi Yahudi
sampai-sampai mengatakan, "Komunitas Muslim ada diantara orang-orang
yang telah menghadapi resiko besar karena memberikan perlindungan pada
kaum Yahudi di rumah-rumah mereka. Dan mereka melakukannya tanpa melihat
latar belakang agama para Yahudi,"
Sedangkan, Dr Ghazala Hayat, seorang
doktor ahli syaraf di Universitas St. Louis dan juru bicara Islamic
Foundation di Greater Saint Louis mengatakan, "Anda mungkin belum pernah
mendengar cerita ini, bagaimana komunitas Muslim Albania mempertaruhkan
nyawa mereka sendiri untuk mengamalkan keimanan dan menghormati
kehidupan yang disebut Besa,"
Besa sendiri adalah tradisi yang berakar
dari Al Qur'an yang berarti "memegang janji" atau "menjaga kehormatan".
BESA juga berarti peduli pada yang membutuhkan, melindungi kaum lemah,
dan menolong sesama.
Dalam upaya melindungi kaum Yahudi, para
Muslim Albania menganggap mereka sebagai saudara. Mereka diberikan
pakaian yang sama, makanan yang sama, dan tinggal bersama-sama di rumah
seperti anggota keluarga. Apabila ada patroli Jerman datang, kaum Yahudi
disembunyikan di bawah tanah atau tengah hutan.
Kisah dari keluarga Kasem Kocerri, yang
didatangi serombongan patroli NAZI pada awal 1944, menarik disimak. Saat
itu, tentara NAZI menanyakan di mana para pengungsi Yahudi bersembunyi.
Tapi Kasem menolak untuk memberitahu. Diam-diam, ia menyembunyikan
keluarga Yahudi di salah satu gudang di atas bukit.
Keluarga Halil Frasheri menceritakan
pengalamannya yang mencekam saat patroli NAZI menggeledah rumah ke
rumah. Ia, melalui pintu belakang, mengajak keluarga Yahudi yang
bersembunyi di rumahnya, untuk lari ke dalam hutan. [28]
Namun kisah fenomenal diatas itu semua,
terjadi ketika Yahudi mengalami berbgai kekejaman di Eropa, kaum Yahudi
di wilayah Utsmani mersakan hidup di tanah air. Selama ratusan tahun
mereka tinggal disana, menikmati kebebasan beragama dan berbagai
perlindungan sebagai kaum minoritas atau ahlud dimah. Selama itu, kaum
Yahudi tidak berfikir untuk berpisah dari Ustmani.
Kondisi
Yahudi di Ustmani itu begitu bertolak belakang dengan perlakuan yang
diterima Yahudi di dataran Eropa sehingga mereka harus mengungsi
besar-besaran ke Eropa, dan terutama ke wilayah Utsmani. Padahal ketika
Spanyol berada dibawah pemerintahan Islam, kaum Yahudi juga mendapat
perlakuan yang baik, oleh karenanya, Martin Gilbert, dalam
Atlas of Jewish Civilization mencatat bagaimana kebijaksanaan penguasa
Muslim Spanyol terhadap Yahudi. Dia katakan bahwa penguasa Muslim juga
memperkejakan sarjana Yahudi sebagai kecintaan mereka terhadap Sains dan
ilmu pengetahuan. [29]
Dengan berbagai fakta sejarah yang ada,
pelabelan Islam adalah fundamentalis. Islam adalah radikalis, bahkan
Islam adalah teroris patut ditinjau ulang. Jika menegakkan Islam secara
kaffah adalah teroris, menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem kufur
adalah teroris, lalu mendelegasikan bahwa sistem buatan manusia adalah
bathil, maka dengan senang hati kami bangga disebut teroris. Karena
label manusia menjadi tidak penting dibanding ridha Allah Subhana
wata'ala. Allahua'lam
Catatan Kaki"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai" (QS. At-Taubah 9:31-32).
[1] Harian Kompas, Jangan Biarkan Radikalisme, Jum’at 29 April 2011.
[2] Setara Institute dalam penelitian yang berjudul “Radikalisme Agama di Jadebotabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan,” mencatat bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi memprihatinkan.
Tahun 2007, Setara mencatat terdapat
185 jenis tindakan dalam peristiwa 135 kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Penelitian yang diselenggarakan dari tahun 2007-2010
inipun menimbulkan polemik di kalngan umat Islam.
Tahun 2008, terdapat 367 tindakan di
265 peristiwa. Tahun 2009, masih dalam survey Setara, terdapat 291
tindakan untuk 200 peristiwa. Tahun 2010, tidak kurang 175 peristiwa.
Dan uniknya, menurut data penelitian itu, nyaris semua pelanggaran,
selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal.
[3] Melalui bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996),
Huntington mengarahkan Barat untuk memberikan perhatian khusus kepada
Islam. Menurutnya, di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis
hingga kini hanyalah Islam yang berpotensi besar menggoncang peradaban
Barat, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah.
[4] Selain istilah radikalisme, Barat juga menyebut dengan fundamentalisme. Lihat William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism And Nodernity, T.J. Press (Padstow)
Ltd, London, 1998, hlm.2.
Ltd, London, 1998, hlm.2.
Fundamentalisme juga berarti anti-pembaratan (westernisme). Lihat juga Fazlur Rahman, Islam And Modernity, The University of Chicago Press, Chicago, 1982, hlm.136.
[5] Lihat Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta: LKiS, 2009) hlm. 4.
[6] Rezim Bonapartis
adalah rezim yang sungguh otoriter. Mereka menjadikan rakyatnya sebagai
konsumen. Pemerintah terkesan cuci tangan dalam mengurus warganya,
sehingga tak jarang rakyat dalam rezim bonapartis menjadi korban ulah
negara (state neglect) yang tak terurus.
Bagi rezim ini, kebijakan sosial
hanya digunakan oleh kelompok elite untuk menjaga status quo. Kebijakan
Bonapartis cenderung digunakan untuk terus mempertahankan dominasi
negara terhadap rakyatnya.
Konsekuensinya, keadaan rakyat tak
banyak berubah. Bahkan, cenderung kian memburuk, sengsara, dan
menderita. Berbagai kebijakan yang dihasilkan rezim Bonapartis pun tidak
memihak rakyatnya karena tidak didasarkan fakta dan realita, tetapi
bagaimana tetap berkuasa.
[7] Islam Fundamentalis
juga kadang disebut dengan sebutan lain seperti Islam Politik. Dalam
sejumlah literatur, berbagai istilah baik itu Islam Politik,
“fundamentalisme”, Neo fundamentalisme atau revivalisme Islam memiliki
substansi yang sama. John Esposito misalnya menyamakan istilah Islam
Politik dengan “fundamentalisme Islam” atau gerakan-gerakan Islam
lainnya. Lihat Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Mizan, 2007) h. 24
[8] Lebih lengkap baca, Nuim Hidayat, Imperialisme Baru, (Jakarta: GIP, 2010)
Selain itu menurut Karen Armstrong,
fundamentalisme tidak hanya terdapat pada agama seperti Islam, Kristen,
Yahudi melainkan juga terdapat dalam agama Hindu, Buddha dan bahkan
agama Kong Hu Chu, yang sama‑sama menolak butir‑butir budaya liberal,
melakukan kekerasan atas nama agama‑maupun membawa sakralitas agama ke
dalam wilayah politik dan negara. Lihat, Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen Dan Yahudi, Terj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung & Jakarta: Mizan & Serambi Ilmu Semesta, 2000), hlm. x.
[9] DR. Haidar Ibrahim Ali. Al Ushûliyyah; Al Târîkh Wa Al Ma’na.
[10] James Barr. Fundamentalisme,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia.) Hal. 1-2. James Barr adalah Guru Besar
Bahasa Ibrani di Universitas Oxford. Ia disebut-sebut peletak dasar
kajian tentang fundamentalisme.
[11] Haidar Ibrahim Ali, op.cit
[12] George Marsden
adalah seorang sejarawan yang telah banyak menulis tentang interaksi
antara Kristen dan budaya Amerika, terutama pada Kristen
Evangelikalisme.
[13] James Barr, op.cit, h. 378.
[14] I.J. Satyabudi, alumnus Universitas Kristen Satya Wacana, menulis dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah,
bahwa penemuan arkeologi biblika sejak tahun 1890 M, sampai 1976 M,
telah menghasilkan 5366 temuan naskah-naskah purba kitab Perjanjian Baru
berbahasa Yunani yang berasal dari tahun 135 M sampai tahun 1700 M yang
terdiri dari 3157 manuskrip yang bervariasi ukurannya.
Dari 5366 salinan naskah itu, jika
diperbandingkan, beberapa sarjana Perjanjian Baru menyebutkan adanya
50.000 perbedaan kata-kata. Bahkan ada beberapa sarjana yang menyebutkan
angka 200.000-300.000 perbedaan kata-kata. Lihat Adian Husaini, Problem Teks Bible.
[15] Fadhli Ayas, Menguak Fundamentalisme.
[16] Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 2001) h. 101
[17] Bisa dilihat dala tulisan Kelsos dengan judul Victims of The Christian Faith di situs www.truthbeknown.com yang kemudian ditulis kembali oleh Hj. Irena Handono dalam buku Fitnah dan Teror, (Bekasi: Gerbang Publishing, 2008)
[18] Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: GIP, 2004) h. 141
[19] Ibid, h. 140
[20] Ibid. h. 145
[21] Herry Nurdi, Perjuangan Muslim Pattani, (Jakarta: Sabili Publishing, 2010) h. 14
[22] Awalnya
mereka dinakakan Rohang, dan merupakan sebuah bangsa yang berdiri
sendiri. Lebih lengkap baca, Seri penelitian PPW-LIPI, Problematika
minoritas Muslim di Asia Tenggara : Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya.
(Jakarta : Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 2000) h. 48
[23] Etnis
Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke-7 Masehi. Hal ini
merupakan bantahan bagi junta militer yang menyatakan, bahwa etnis
Rohingya merupakan pendatang yang di tempatkan oleh penjajah Inggris
dari Bangladesh. Memang secara fisik etnis Rohingya memiliki kesamaan
fisik dengan orang Bangladesh. Merupakan keturunan dari campuran orang
bengali, Persia, Mongol, Turki, Melayu dan Arab menyebabkan kebudayaan
Rohingya sedikit berbeda dari kebanyakan orang Myanmar. Termasuk dari
segi bahasa yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Parsi, Urdu dan
Bengali.
[24] M. Ali Ketani, Minoritas Muslim Di Dunia Dewasa ini, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005) hlm. 204
[25] Sri
Nuryanti, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar : Masalah
Diskriminasi Sosial-Budaya, dalam Seri penelitian PPW-LIPI, Problematika
minoritas Muslim di Asia Tenggara : kasus Moro, Pattani, dan Rohingya.
(Jakarta : Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 2000) h. 64
[26] Herry Nurdi, Gold, Glory and Gospel di Tanah Muslim, www.penerang.com, 12 Oktober 2010.
[27] Junanto Herdiawan, BESA: Kisah Islam yang Menyelamatkan Yahudi, Kompas, 29 April 2011
[28] Tradisi Besa Muslim Albania Selamatkan Kaum Yahudi dari Kejaran Nazi, eramuslim.com, 25 Oktober 2010
[29] Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam. (Jakarta: GIP, 2004) H. 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your Comment. Thanks