Pages

Pages

Pages

Selasa, 31 Mei 2011

Selingkuh, Oknum Perangkat Desa Kowang Digerebek Warga

Kades Kowang M. Yusuf Sc. (jbc11/jbc)
TUBAN – Kepergok tengah berbuat mesum dalam kamar, dua perangkat Desa Kowang Kecamatan Semanding digerebek dan dikeler puluhan pemuda untuk dimintai pertanggungjawabkan atas perbuatannya dianggap mencemarkan nama baik desa.

Pasangan mesum Lis (37) dan Bun (49) sama-sama sudah berkeluarga dan sama-sama menjabat Kasi pada desa setempat. Mereka digerebek para pemuda desa yang sudah lama menaruh curiga dengan gelagat mereka yang sedang di mabuk asmara ini. Keduanya juga sering bepergian berduaan.

Sebelum penggerebekan, Aziz (27) salah satu pemuda yang rumahnya dekat dengan Lis, mengintai situasi rumah. Ternyata tepatnya minggu jam 23.30 malam, usahanya tidak sia–sia, dia melihat Bun, masuk rumah Lis melalui belakang rumah melewati pintu jendela rumah. Merasa aman, Bun masuk begitu saja ke dalam kamar dan keduanya langsung melepas baju.

Aziz yang menyaksikan langsung dibalik pohon, segera memberi isyarat kepada para pemuda lainnya sudah siap, melalui SMS. Para pemuda yang sudah lama menunggu informasi dari Aziz langsung meluncur ke rumah Lis dan menggedor pintu.

Kedua perangkat desa yang sedang di mabuk asmara ini, berusaha secepatnya menggnakan pakaian, namun keburu para pemuda masuk dan memergoki mereka berdua sedang telanjang. Usai memakai baju, keduanya dikeler beramai–ramai dan dibawa ke balai desa setempat untuk dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan tercela yang mereka lakukan.

“Mereka sudah lama berhubungan gelap. Karena kami merasa kesal dengan ulah mereka maka kami menggerebeknya,” ujar Azis kepada wartawan.

Baik suami Lis, yang bekerja sebagai sopir di Surabaya maupun Istri Bunbonaji tidak mengetahui jika suami dan istri mereka menjalin hubungan gelap.

Kepala Desa Kowang M.Yusuf Sc membenarkan kejadian tersebut. “Memang benar. Para pemuda desa telah menggerebek kedua perangkat desa saya dan memang telah terjadi perselingkuhan. Sesuai tuntutan warga, mereka harus dipecat menjadi perangkat desa,” katanya. (jbc11/jbc2/Jurnalberita.com)

Senin, 30 Mei 2011

Cegah Antraks, Tuban Tolak Hewan Ternak dari Jateng

Petugas memeriksa kesehatan sapi. (MI/Djoko S/wt)
TUBAN -- Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tuban, Jawa Timur menolak masuknya hewan ternak yang berasal dari di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Ini dilakukan menyusul status kejadian luar biasa (KLB) Kabupaten Boyolali atas penyebaran virus antraks.

Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Pertanian Pemkab Tuban Basuki Tahyono mengungkapkan, untuk mengantisipasi merebaknya virus antraks di wilayahnya, pihaknya telah memperketat penjagaan daerah perbatasan. Langkah tersebut dilakukan dengan mengaktifkan kembali check point di dua titik perbatasan. Di antaranya, di Desa Bulu, Kecamatan Bancar yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Rembang, Jateng dan di Desa Kepasean, Kecamatan Jatirogo.

"Kami telah turunkan tim untuk membantu petugas Dinas Peternakan Provinsi dengan monitoring dua titik tersebut," ungkapnya, Minggu (29/5) sore.

Menurut dia, hal ini perlu dilakukan sebab daerahnya berbatasan langsung dengan wilayah Jawa tengah. Petugas, kata dia, juga diinstruksikan untuk menolak hewan ternak yang berasal dari daerah  Boyolali dan sekitarnya.

Hal ini untuk mencegah merebaknya virus antrax masuk ke wilayahnya. "Ya, jelas kami tolak itu," tandasnya.

Diterangkannya, upaya lain yang dilakukannya, yakni melakukan sosialisasi kepada masyarakat seputar perbatasan provinsi tersebut. Terutama, jika ditemukan ditemukan adanya indikasi wabah antraks masuk wilayahnya.

"Kami minta petugas lapangan untuk proaktif dalam hal ini. Yakni, segera melaporkan ke Kabupaten," jelasnya.

Dengan koordinasi cepat itu, lanjutnya, diharapkan apabila ditemukan adanya indikasi virus antraks bisa segera ditangani. Sejauh ini, wilayahnya diyakini masih terbebas dari virus sapi gila ini. Hal tersebut diketahui setelah dilakukan uji sampel daging di sejumlah pasar tradisional.

Namun, dari uji laboratorium yang telah dilakukan tidak ditemukan adanya sebaran virus antraks di wilayahnya. "Sejauh ini Tuban aman dari antraks," tegasnya. (MICOM/YK/OL-11)

Jumat, 27 Mei 2011

Museum Kambang Putih, Tampil di Pameran Koleksi Benda Purbakala Jatim

Museum Kambang Putih Tuban.
Malang -- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggelar pameran koleksi benda purbakala di Taman Krida Budaya, Kota Malang, Jawa Timur, mulai Kamis (26/5) hingga Minggu (29/5). Pameran ini bertujuan mendorong pengelola  mengubah citra museum. "Agar museum menjadi lebih menarik sehingga sering dikunjungi masyarakat," kata Kepala Seksi Museum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim, Parso Adianto, Jumat (27/5).

Sebanyak 15 museum mengikuti kegiatan ini, yaitu Museum Mpu Tantular Sidoarjo, Museum Sepuluh Nopember Surabaya, Museum Blambangan Banyuwangi, Museum Buwono Keling Pacitan, Museum Kambang Putih Tuban, dan Museum Brawijaya Malang. Selain itu, Museum Trinil Ngawi, Museum Sunan Drajad Lamongan, Museum umum Pamekasan, Museum Rajekwesi Bojonegoro, Museum Penataran Blitar, Museum Tulungagung, Museum Anjuk Ladang Nganjuk serta Museum Airlangga Kediri.

Selama pameran, masing-masing museum memamerkan koleksi unggulan mereka, mulai dari pkoleksi zaman prasejarah, sejarah klasik, hingga sejarah modern. Koleksi yang bisa dilihat antara lain arca zaman Kerajaan Mataram Kuno dan gading gajah purba di Museum Rajekwesi Bojonegoro.

Parso Adianto berharap nantinya Dinas Pendidikan di setiap kota dan kabupaten agar sering memamerkan koleksi benda purbakala di pusat perbelanjaan, sekolah, dan di tempat keramaian lainnya. Dengan pameran di luar, diharapkan masyarakat semakin mengetahui arti dan makna museum.

Pemandu dan Pengelola Museum Rajekwesi Bojonegoro Agus Sunaryo mengaku, tingkat kunjungan ke Museum Rajekwesi setiap harinya sangat minim. "Rata-rata hanya 10 orang per hari," tuturnya. Sedangkan jumlah pengunjung di Museum Anjuk Ladang Nganjuk rata-rata hanya 200 orang per hari. (TEMPO Interaktif)

Fatimah Binti Maimun, Sang Mubaligh Pertama di Tanah Jawa

BUKTI tertua kehadiran huruf Arab pada fase awal Islam di Nusantara ditemukan di sebuah makam di desa Leran, 8 Km utara kota Gersik Jawa Timur.

Huruf itu terdapat pada Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Dia wafat pada hari Jumat 12 Rabiulawal 475 Hijriyah / 1082 Masehi.

Penanggalan itu menunjukkan nisan dipusara anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara. Demikian di tuliskan pada buku panduan pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), pada tanggal 11-17 September 1995.

Inskripsi nisan Fatimah terdiri atas tujuh baris, di tulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, salah satu ragam kaligrafi, dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini juga memuat ayat Al-Qur’an, antara lain surat Al-Rahman ayat 28-27 dan surat Ali Imron ayat 185.

Bersama nisan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiulawal 822 H / 8 April 1419 M, juga dimakamkan di Gresik, mengukuhkan pendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Persia dan Gujarat. Ada juga sarjana yang mengatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.

Prof. DR. PA. Hoesien Djajadiningrat menyatakan, “Bukti agama Islam masuk ke Nusantara dari Iran (persia), ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di bawah, dan di depan disebut jabar, Jer dan Pes. Ini adalah bahasa Iran. Kalau menurut bahasa Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula huruf Sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab adalah  bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang.”

Siapakah Fatimah binti Maimun? Ahli sejarah Cirebon abad ke 17, Wangsakerta, sebagai pangeran ketiga keraton pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se Nusantara menelusuri silsilah para Syekh, guru agama dan Sultan keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan Mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten.

Hasilnya sebagai berikut: Rasulullah Muhammad SAW berputri Fatimah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputra Husaian, berputra Zainal Abidin, yang menurunkan Muhammad Al-Baqir, bapak Ja’far Shadiq, berputra Ali Al-Uraidi, ayah Sulaiman Al-Basri, yang menetap di Persi, Sulaiman Abu Zain Al-Basri, yang menurunkan Ahmad Al-Baruni, ayah Sayyid Idris Al-Malik, yang berputra Muhammad Makdum Sidiq, yang terakhir ini adalah ayah Hibatullah, kakek Fatimah binti Maimun.

Masih menurut penelusuran itu, Fatimah menikah dengan Pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian selatan.

Tentang Fatimah binti Maimun ini, pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud menghubungkan-nya dengan tradisi Lisan Jawa, tentang putri Leran atau putri Dewi Swara. Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.

Dengan demikian, tidak mustahil Fatimah binti Maimun itu pendakwah Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Nusantara. Namun ada penulis yang menyatakan, kakeknya pedagang dari Timur tengah, Hibatullah, menetap di Leran, dan menikah dengan wanita setempat, bahkan di duga sudah membangun masjid.

Apakah faktor kebetulan bila desa tempat Fatimah binti Maimun di makamkan itu bernama Leran? Tentu saja hal ini telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak lama.

Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya berpendapat, di Persia itu ada satu suku namanya “Leren”, suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf Pegon.

Dalam hal ini, Moh. Hari Soewarno mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran. mungkin Fatimah berasal dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan data lain di Iran sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga dapat di tarik kesimpulan, pada abad ke ke 11 itu sudah ada lalu lintas dagang antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta di mengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran.

Menurutnya, orang Parsi, yang datang ke Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi – untuk  menunjukkan perkampungan orang Jawa disana..

Jadi, dapat disimpulkan, Fatimah binti Maimun adalah orang Parsi yang menetap di Jawa (tepatnya di Gresik), lalu perkampungannya disana hingga sekarang terkenal sebagai desa Leran. Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke 11 sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau. Gaya rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi.

Apakah juga faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik, kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana? Bersama nisan ulama Persia Maulana Malik Ibrahim, yang berangka tahun 882 H / 1419 M, sedang Nisan Fatimah yang berangka 475 H / 1082 M dilihat sebagai bukti bahwa pada waktu itu banyak orang Gresik yang telah menganut agama Islam. Bahkan sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak pedagang Islam di tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik, yang saat itu sedang dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat tinggal mereka.

Bersama Tuban dan Jepara, pelabuhan Gresik sejak zaman Prabu Airlangga (1019-1041 M) bertahta, telah terjalin hubungan dagang dengan negara-negara manca. Di pantai Tuban banyak ditemukan kepingan uang emas dinar  Arab bertarikh abad ke 9 – 10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah pesat.

Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa Portugal, Tom Pires, yang menyusuri utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni 1513, mencatat dalam jurnalnya, “Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan Mullah, para ulama di datangkan dari Luar.”

Mengenai kemampuan melaut orang Jawa, Babat Tanah Jawi versi J.J. Meinnsma menggambarkan betapa kapal layar Jawa telah mengarungi samudra jauh sampai ke negeri Sophala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Penjelajajahan itu terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian, seperti Cangkul dan sabit, serta alat persenjataan, yakni Keris yang bahan bakunya harus di cari sampai ke Afrika Timur. Itulah sebabnya, orang Jawa memberanikan diri berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di sana.

Akan tetapi ahli keris B.K.R.T. Hertog Djojonegoro menyatakan bahwa yang dicari jauh-jauh itu bukan hanya besi, melainkan juga batu metorit (watu lintang, batu bintang) sebagai bahan pamor atau “kesaktian” pada keris atau tombak. Pamor yang baik ada 111, antara lain berasal dari Gunung Uhud, di Arab Saudi, misalnya pamor “Subhanallah,, Alif dan Ahadiyat”, yang sangat besar kewibawaannya, serta pamor “Rahmatullahi.” Yang mendatangkan banyak rezeki.

Pengambilan pamor dari Gunung Uhud, menurut Hertog, menunujukkan bahwa suku bangsa Jawa khususnya dan bangsa Indonesia umumnya pada masa dahulu merupakan bangsa pelaut dan pedagang yang sudah mengunjungi tanah Arab dan sudah memiliki hubungan dagang dengan banyak negeri di kawasan Timur Tengah.

Diakui oleh bangsa asing melalui tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi orang Indonesia merupakan bangsa pelaut, bahari dan pedagang ulung yang mencapai puncaknya pada zaman Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit. Kemudian masih berlangsung pada masa Demak dan Mataram di bawah Sultan Agung.

Keahlian membuat Keris hanyalah satu dari 10 ilmu asli yang dimiliki orang Jawa: Wayang, Gamelan, Metrik (cara dan alat penimbang), Batik, Logam (dan cara mengolahnya), sistem uang, ilmu pelayaran, Astronomi (ilmu perbintangan), penanaman Padi basah, dan sistem pemerintahan yang sangat teratur. (ar/sf/www.suaramedia.com)

Kamis, 26 Mei 2011

Ribuan Anak di Tuban Putus Sekolah Karena Harus Bekerja

TUBAN - Ribuan anak di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, `terpaksa` putus sekolah karena harus bekerja membantu orangtua. Rata-rata mereka setingkat SD dan SMP.

Kasi Keselamatan dan Keamanan Kerja (K3), Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Catatan Sipil Pemerintah Kabupaten Tuban, Widodo, membenarkan hal tersebut. “Anak-anak yang putus sekolah dan harus bekerja membantu orangtua karena kondisi ekonomi, sehingga mereka tak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku SD maupun SMP,” terangnya, Kamis (26/5/2011).

Dijelaskannya, pekerjaan yang mereka geluti berbagai macam. Seperti menjadi tukang becak, kuli bangunan, mengambil batu kumbung, menjadi nelayan maupun petani. “Hampir di seluruh kecamatan ada dan jumlahnya tidaklah sedikit,” pungkas Widodo.

Sementara itu, ketika ditanya solusi untuk mengurangi banyaknya anak-anak putus sekolah, Widodo menjawab, bahwa dalam dua tahun ini, pihaknya hanya bisa membuat Program Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka  mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PHK) yang merupakan program nasional. Tetapi, dalam program tersebut hanya bisa diikuti 60 anak saja setiap tahunnya.

“Dalam kurun waktu itu baru ada 120 anak yang ikut program tersebut. Masih banyak lagi anak di Tuban yang harus mengikuti program itu,” terangnya.

Diungkapkannya, PPA-PHK itu telah dilaksanakan sejak 2 Mei 2011. Satu bulan pertama, 60 anak akan ditampung di shalter untuk diberi motivasi dan bimbingan. “Kemudian, setelah tiga bulan mengikuti program, mereka bisa melanjutkan untuk sekolah. Tahun sebelumnya, yang ikut dalam program tersebut telah sekolah semua. Semoga, tahun ini bisa seperti sebelumnya,” tuturnya.

Sementara itu, Didik Sunanto (15), salah satu peserta PPA-PKH asal Kelurahan Perbon, Kecamatan Kota, Tuban, mengaku senang saat ia mengikuti program itu.

Bocah lulusan SMP itu terpaksa putus sekolah lantaran tidak memiliki biaya untuk melanjutkan ke jenjang sekolah lebih tinggi, karena telah ditinggal ibunya ke Kalimantan.

”Saya bekerja menjadi tukang becak di wilayah Sunan Bonang. Penghasilannya  hanya cukup untuk makan. Tapi, kalau untuk sekolah masih tidak,” ungkap Didik, sembari menambahkan setelah mengikuti progam ini, dia bisa melanjutkan sekolah lagi dari bantuan Dinas Pendidikan. (pam/isp/zonaberita.com)

PEMKAB TUBAN SIAPKAN BANTUAN BAGI MARLENA

Rumah Marlena, PRT Korban kekerasan majikan. (jbc11/jbc)
TUBAN – Kasus penganiayaan terhadap Marlena (17) dan Dwi Fitri Noryanti (19), dua pembantu rumah tangga (PRT) asal Tuban yang dilakukan majikannya hingga harus dirawat di rumah sakit, menarik simpati Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban.

Dua korban kebengisan majikan, Marlena (17) asal Desa tingkis Dwi Fitri Noryani (19), asal Dusun Margosono Desa Margosari, keduanya berasal dari kecamatan yang sama, Kecamatan Singgahan, Tuban..

Marlena, anak pasangan (alm) Raji dan Samah, mengalami luka parah di kakinya, hal ini menjadikan para tetangga merasa prihatin terhadap apa yang dialaminya.

“Kasihan mas, lagian Marlena adalah tulang punggung keluarga karena bapaknya sudah meninggal. Saya gak tahu lagi bagaimana nasih ibunya,” ujar Sundarsih, tetangga Marlena dengan nada agak.

Hal senada juga disampaikan oleh Musriah, mereka berharap adanya bantuan untuk kesembuhan dan segera mungkin mereka dapat kembali ke desa.

Terpisah Joni Martoyo, Kabag Humas Pemkab Tuban mengatakan pihak Pemkab sudah ada agenda untuk memberi santunan kepada dua orang PRT tersebut. Namun, karena  mereka  masih dirawat di salah satu Rumah Sakit di Surabaya, kami harus menunggu kepulangan terlebih dahulu, “Kalau sudah pulang, kami akan segera meluncur ke rumah mereka,” jelasnya.

Ketika disinggungbentuk bantuan yang akan diberikan, Joni menjawab bila pihaknya akan berkoordinasi dengan beberapa instansi dulu, “Masalah itu harus dibicaarakan oleh beberapa pejabat Pemkab. Kami tetap akan memberi bantuan kepada mereka,” ujar mantan Camat Jenu ini.

Seperti yang diberitakan beberapa media, penyiksaan itu dilakukan oleh majikan korban, yakni Tan Fang May (47), Edy Budianto (50), Ezra Tantoro (27) dan Roni Agustin (32). Mereka kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Surabaya. (jbc11/jbc2)

Rabu, 25 Mei 2011

Angin Kencang, Ikan Sepi, Nelayan Tuban Libur

TUBAN - Ratusan nelayan di Kabupaten Tuban, Jawa Timur (Jatim), sejak lima hari terakhir, tidak berani melaut, karena angin kencang dan gelombang tinggi di perairan laut di wilayah setempat. Para nelayan di sejumlah desa di Tuban, dalam mencari ikan di Perairan Tuban, biasanya wilayahnya mencapai 20 kilometer dari daratan.

"Sudah lima hari ini, nelayan di desa kami tidak melaut, sebenarnya tidak hanya angin kencang penyebabnya, tetapi juga karena ikan lagi sepi," kata seorang nelayan warga Desa Kingking, Kecamatan Kota,Sukirman (68), bersama nelayan lainnya, Sumarto (25), Rabu (25/5).

Sebagian besar nelayan di Desa Kingking, Karangsari, Njaringan, Karanganyar, Kecamatan Kota, sejak lima hari tersebut, berhenti melaut. Para nelayan, lanjutnya, memperkirakan kondisi angin kencang dan sepinya ikan laut tersebut, bisa berlangsung sekitar sebulan. "Penyebab sepinya ikan di laut, karena ada perubahan iklim, angin yang bisanya dari arah barat sekarang dari timur," katanya menjelaskan.

Menurut dia, para nelayan sebenarnya tidak terlalu terpengaruh dan takut dengan angin kencang dan gelombang tinggi. Jika ikan di laut banyak, para nelayan akan tetap berangkat ke laut, tanpa menghiraukan kondisi angin dan gelombang. "Kalau saja ikan di laut banyak, kami-kami ini tetap nekad berangkat melaut, tidak peduli angin kencang," kata Sumarto, dibenarkan sejumlah nelayan lainnya yang sedang memperbaiki jaring.

Ia menambahkan, kalau kondisi ramai ikan, sepasang nelayan dengan satu perahu bisa memperoleh penghasilan kotor berkisar Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu/hari. Karena kondisi ikan sepi, sepasang nelayan yang mencari ikan, belum tentu bisa mendapatkan penghasilan Rp100 ribu/hari. "Lebih baik kami bertahan tidak melaut, biaya solar perahu dimanfaatkan untuk makan keluarga," katanya menambahkan.

Data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Pemkab Tuban menyebutkan, di wilayah Tuban terdapat sedikitnya 19 ribu nelayan sejumlah desa di Kecamatan Palang, Kota, Jenu, Tambakboyo, dan Bancar yang bekerja sebagai nelayan. (Okz/Van)

Senin, 23 Mei 2011

Mahasiswa Tuban Minta Polisi Tindaklanjuti Perusahaan “Nakal”

Wakapolres Tuban saat berhadapan dengan mahasiswa.
TUBAN - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiwa Islam Indonesia (PMII) melurug Mapolres Tuban. Menereka minta polisi segera menindaklanjuti perusahaan vital yang dinilai “nakal” dan memberikan dampak buruk bagi masyarakat di sekitar, Senin (23/5/2011).

Sebelumnya, saat sampai di depan mapolres, para aktivis dilarang masuk karena mereka membawa spanduk berbagai macam tulisan. Saat itu sempat terjadi ketegangan antara mahasiswa dengan petugas.

“Kenapa kami harus melepas spanduk yang kami bawa, padahal ini adalah wakil suara rakyat,” jelas salah satu demontrans dihadapan Waka Polres Tuban Kompol Kuwadi.

Setelah melakukan negosiasi,  akhirnya,mereka diperbolehkan masuk. Di dalam mapolres, para demonstran melakukan dialog untuk segera menindaklanjuti beberapa perusahaan vital yang nakal. Atau dampak perusahaan negatif pada masyarakat yang berdekatan dengan pabrik.

“Banyak dampak negatif pada warga setempat yang diberikan perusahaan besar di Tuban ini. Dan kami meminta kepada kepolisian untuk segera mengusut permasalahan ini,” ungkap beberapa mahasiswa.

Terkait permintaan para mahasiswa ini, Kasat Reskrim Polres Tuban AKP Budi Santoso, mengatakan, pihaknya akan melakukan penyelidikan lebih dulu. “kami tidak langsung main urus begitu saja. Tentunya kami harus melakukan penyelidikan,” jawabnya.(pam/isp/zonaberita.com)

Penyiksa PRT Asal Tuban Merengek Minta Mati!

Surabaya - Tan Fang May (47) salah satu dari empat tersangka penganiayaan PRT dan babysitter dengan cara dipukuli, disiram, dirantai terlihat merengek-rengek ke penyidik. Tan yang paling banyak melakukan penganiayaan itu berteriak ingin mati dari pada dipenjara. Tan terdengar menangis tapi tidak keluar air mata.
"Wes aku dipateni ae (Saya dibunuh saja) lebih baik dari pada di sini (mendekam di penjara)," ujar Tan Fang May saat dimintai keterangan penyidik unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polrestabes Surabaya, Minggu (22/5/2011).

"Aku gemes nontok de’e. Yo mesti ngene iki nek arep diperikso. Alasan tok. (Saya gemes melihatnya. Setiap kalau akan diperiksa selalu seperti itu, pura-pura menangis. Itu hanya alasan saja)," ujar salah satu petugas.
Selain melakukan tindakan kekerasan dengan cara yang keji, menyiram menggunakan air panas, memukulkan alat penggorengan yang masih panas, merantai, menginjak dan memukulinya dengan sapu lidi, keluarga tersangka May juga tidak mempunyai rasa kemanusiaan.

Dengan kondisi korban yang sakit, masih disuruh membeli gas elpiji ukuran 12 kg yang jaraknya dengan toko gas elpiji sekitar 3 km. Padahal malam itu, kondisinya juga hujan deras. Sedangkan, May bersama putranya melihat dari kejauhan korban Ena (17) yang sudah tidak kuat lagi mengangkat tabung gas elpiji 12 kg.
"Malam itu saya suruh beli gas elpiji karena ada keperluan mendadak," ujar May.
Setelah didesak, mengapa tidak membantu korban mengangkat tabung berisikan gas elpiji 12 kg, May malah meronta-ronta menangis.

"Ya pak, saya dan anak saya melihatnya dari ujung jalan," kata May.
Dari keempat tersangka penganiayaan majikan terhadap PRT dan babysitter, Tan Fang May (47) Eddie Budianto (50) keduanya pasangan suami istri yang juga orang tua dan menantu tersangka Ezra Tantoro Suryaputra (27) dan Rony Agustian Hutri (32) warga Darmo Permai Selatan, May-lah orang yang sering melakukan perlakuan kasar terhadap Ena.

"Ya pak, kadang saya injak-injak tubuhnya, saya jambak (rambut korban ditarik) sampai terjatuh. Berdiri saya tendang," ujarnya.

Berulang kali pemeriksaan sempat terhenti, karena May meronta-ronta menangis minta kasusnya tidak dilanjutkan. "Saya mohon maaf pak," kata May.

Mertua tersangka Rony ini mengaku selama ini tidak pernah menangis. Baru kali ini dia menangis saat terjerat kasus penganiayaan.

"Saya nggak pernah menangis. Baru kali ini saya menangis pak. Tolong aku sama keluargaku pak, aku nggak mau di sini," tambahnya.

Meski meronta-ronta menangis, polisi tetap menunggu tersangka normal untuk dimintai keterangan lanjutan.
Sementara Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Anom Wibowo mengatakan, selain menahan keempat tersangka, pihaknya juga mengamankan barang bukti diantaranya 1 buah sutil penggorengan, 1 termos air panas, sehelai kain yang dipakai untuk membungkam mulut korban. Seutas tali rafia, seutas rantai besi anjing dan 3 buah sapu lidi.

"Para tersangka kita jerat pasal berlapis yakni Pasal 80 UU RI no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Pasal 44 UU RI No 23 tahun 2004 tentang KDRT dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun dan pasal 88 UU RI no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa yang mengeksploitasi ekonomi dengan maksud menguntungkan diri sendiri pidana penjara maksimal 10 tahun," jelasnya.

Seperti diberitakan, empat tersangka dari satu keluarga mulai orang tua, anak dan menantu yang profesinya pengusaha, mahasiswa hingga dokter, melakukan penganiayaan seorang PRT dan dua orang babysitter.
Dari ketiga korban yang mengalami luka parah karena sering dipukuli, dirantai dengan rantai anjing dan disuruh makan makanan basi minum minuman air bekas cucian pakaian dan tidur di kandang anjing, adalah Ena (17) gadis asal daerah Kabupaten Tuban.(detiksurabaya)

Duduk Melingkar Menikmati Toak

Guyub rukun menikmati toak.
JANGAN lewatkan apabila Anda melewati Kota Tuban, Jawa Timur, untuk menyempatkan berkunjung ke Kota Tuban, dan tak perlu heran kalau banyak mendapati banyak orang duduk sila melingkar di pinggir jalan. Mereka tak sekadar mengobrol, tetapi tengah menikmati minuman toak atau tuak, yang merupakan hasil fermentasi dari cairan tandan pohon siwalan (ental).

Tuban memang terkenal dengan Kota Toak. Minum toak sudah menjadi tradisi masyarakat Tuban sejak dulu. Yang khas dari Tuban adalah toaknya. Setiap hari pasti banyak orang Tuban minum toak di pinggir jalan. Tua, muda, dan bahkan wanita pun masih banyak yang suka menikmatinya.

Cara minum toak pun tergolong unik, karena di sajikan dengan centhak, gelas yang terbuat dari bambu. Untuk urusan rasa, toak Tuban paling kaya rasa, ada yang masam, sedikit getar, manis, namun ada juga yang pahit.

Sebagaimana hasil fermentasi lain, toak Tuban juga mengandung alkohol. Terlalu banyak mengonsumsi toak bisa membuat orang pusing kepala (bahasa tubannya nggliyeng). Masyarakat Tuban mempercayai minuman ini berkhasiat. Konon, tuak Tuban bisa mengobati penyakit kencing batu.

Dulu pedagang tuak di Tuban berjualan menggunakan ongkek atau pikulan yang terbuat dari bambu, tetapi sekarang sudah tidak terlihat lagi, mereka lebih banyak memakai jurigen dan botol. Sebotol tuak dijual seharga kurang lebih Rp 2.500. Para pedagang biasanya sudah mulai berjualan sejak pagi, dan hingga larut malam pun masih bisa ditemui. Hmm.. penasaran seperti apa rasanya? Silahkan dicoba.  (*/mar)

Minggu, 22 Mei 2011

Belum Genap 2 Tahun Bertugas, Waka Polres Tuban Dimutasi


Kapolres Tuban, AKBP Nyoman Lastika Msi bersama istri memberi ucapan perpisahan kepada Waka Polres Tuban yang lama, Kompol Yandri Irsan dan istri. (foto:jbc11/jbc)

TUBAN  – Mutasi perwira Polda Jatim yang terjadi di sejumlah daerah, diikuti pula oleh Polres Tuban. Kompol Yandri Irsan SH. Sik. MSi, yang menjabat sebagai Waka Polres diganti oleh Kompol Kuwadi SH MH yang sebelumnya menjabat sebagai Waka Polres Kediri Kota.

Kompol Yandri Irsan yang belum genap 2 tahun bertugas di bumi Ronggolawe ini (21 bulan) ini, dimutasi menjadi Waka Polres Kabupaten Mojokerto. Dalam mutasi ini, tiga Polres sama-sama mendapat perintah dari Polda Jatim untuk melakukan penyegaran Waka Polresnya, yakni Kabupaten Tuban, Kabupaten Mojokerto dan Kota Kediri.

Kapolres Tuban, AKBP Nyoman Lastika, MSi pada saat serah terima jabatan (sertijab) dalam sambutannya mengatakan bahwa mutasi merupakan hal yang wajar dalam tubuh kepolisian. “Mutasi merupakan hal yang wajar supaya ada penyegaran. Jangan dianggap hal lain karena se-Jawa Timur ada tiga wilayah yang melakukan mutasi Waka Polres,” jelasnya.

Lebih lanjut Kapolres mengingatkan kepada wakilnya yang baru, bahwa tugas pengamanan penting masih di depan mata. Yakni pengamanan pelantikan bupati terpilih yang akan digelar pada 13 Juni mendatang. “Selamat jalan pak Yandri, selamat bertugas di tempat yang baru. Dan saya juga memberitahukan pada Waka Polres bahwa pengamanan pelantikan akan segera kita lakukan, kita jangan sampai lengah,” ingatnya. (jbc11/jbc1/)

Istri Ketua IDI Tuban Jadi Tersangka Aborsi


Polres Tuban menetapkan dr. Utami S.PoG sebagai tersangka kasus aborsi. (foto:jbc11/jbc)
TUBAN – Kasus aborsi yang dilakukan salah seorang purel di karaoke Keke di Kabupaten Tuban ini memasuki babak baru.

Setelah hari Jumat (20/5/11) lalu Polres Tuban menetapkan dua tersangka, yaitu Devi Novitasari (20), warga warga Desa Glondonggede Kecamatan Tambakboyo Kabupaten Tuban sebagai ibu janin dan Agung (20), warga Kelurahan Kedungombo Kecamatan Kota, Tuban yang berstatus sebagai pacar Novi.
Kini, Sabtu (22/5), jajaran Polres Tuban kembali menetapkan tersangka baru, yakni dr. Utami S.PoG, yang diduga ikut terlibat dalam proses pengguguran janin wanita malam ini.

Dokter spesialis kandungan yang juga istri dari ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Tuban, dr. H. Hari Wahyono, SpJP ini, mengelak atas tuduhan yang disampaikan Dian –panggilan akrab Devi Novitasari– dalam pemeriksaan polisi.

Dokter ahli kandungan yang sehari-hari membuka praktek di Jalan Teuku Umar Tuban ini berdalih bahwa pada saat proses aborsi berlangsung, kondisi janin sudah meninggal dalam rahim. Sehingga dirinya, dengan alasan medis, berani melakukan aborsi dengan alasan menyelamatkan jiwa ibunya (Dian).
Namun keterangan dr. Utami S.PoG berbeda dengan yang diungkapkan Dian, bahwa dirinya mengaku kepada penyidik melakukan aborsi dalam kondisi janin masih hidup lantaran tidak mau menanggung malu karena akan ditinggal menikah pacarnya (Agung).

Kapolres Tuban, AKBP Nyoman Lastika MSi, kepada jurnalberita.com mengatakan, bahwa meski dokter yang sudah ditetapkan menjadi tersangka ini mengelak, tidak akan membuat kasus ini berhenti. “Kalau tersangka UE tidak mengaku itu haknya, pihak penyidik akan mencari alat bukti yang sah,” jelas AKBP Nyoman.

Atas dasar petunjuk dari pemeriksaan barang bukti janin yang telah dikubur dan peralatan medis yang sudah diamankan, akhirnya polisi menetapkannya sebagai tersangka. “Kita masih akan terus mengembangkan kasus ini. Yang menjadi pertanyaan kenapa harus ke dokter UE, kok tidak ke dokter lain? Padahal ahli kandungan di Tuban kan tidak hanya satu,” ungkap Nyoman Lastika dengan nada bertanya.
Atas perbuatannya tersebut, ketiga tersangka diancam dengan pasal 176 UU Kesehatan, dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun. “Kita sudah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Dan sudah pasti akan kita jadikan tersangka,” tegasnya.

Perlu diketahui, kasus aborsi ini terbongkar atas laporan warga dusun Atas Angin kelurahan Kedongombo Kecamatan Kota, Tuban kepada Polisi karena ada makam bayi yang nampak basah (baru). Setelah ditelusuri, Mat Dullah (60), juru kunci makam didapat keterangan tentang identitas ibu janin malang ini. Kemudian jajaran Reskrim Polres Tuban menangkap Devi Novitasari disusul Agung dan terakhir dr. Utami S.PoG, yang turut menjadi pelaku dalam kasus aborsi ini. (jbc11/jbc1)

Rabu, 18 Mei 2011

Umat Budha Tuban Rayakan Waisak di Kwan Sing Bio

TUBAN – Dalam rangka merayakan Hari Waisak ke 2555 yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2011, umat Budha Tuban menggelar acara sembahyang di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban diikuti ratusan umat Budha. Dalam ritualnya, para umat Budha ini hanya melakukan sembahyang dan do’a bersama.

Dalam ritual yang digelar ini, umat Budha melakukan sembahyang secara sederhana, yang dipimpin langsung oleh ketua harian ibadah Tri Darma Klenteng Kwan Sing Bio, Gunawan Putra Irawan.

Prosesi sembahyang pertama adalah, menghadap ke halaman klenteng yang ditujukan pada Tuhan Tian, yang artinya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan tujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan.

Sembahyang berlanjut dengan menghadap ke Altar Konco kwan Sing Bio Tee Koen atau disebut dengan Dewa yang menjadi kepercayaan umat Budha di klenteng Kwan Sing Bio. Prosesi ritual yang terakhir adalah melakukan sembahyang di Altar Tri Nabi yang ditujukan kepada Tiga Dewa, yaitu Dewa umat Budha, Dewa umat Tao dan Dewa umat Kong Hu Cu.

“Peringatan Waisak ini sangat penting, karena mempunyai makna yang sangat dalam berkaitan dengan peristiwa bersejarah bagi umat Budha, yaitu kelahiran sang Budha. Budha mencapai kesempurnaan dan Budha mencapai nirwana,” terang Gunawan Putra.

Ditambahkan, dengan ritual yang suci ini semua umat Budha yang ada di dunia dapat hidup aman dan nyaman serta tentram. Dan semoga saja dijauhkan dari mara bahaya baik untuk umat seluruh dunia. (jbc11/jbc1/)

Selasa, 10 Mei 2011

Berburu Harta Karun di Perairan Laut Tuban

Perahu digunakan pekerja untuk mengangkut bangkai kapal.
TUBAN  – Wilayah perairan laut Tuban ternyata masih menjadi primadona bagi pemburu harta karun. Banyaknya kapal yang tenggelam beberapa puluh atau bahkan ratusan tahun lalu, menjadi incaran para pemburu. sayangnya hal itu justru merusak kehidupan bawah laut sekaligus membuat nelayan menjadi sepi tangkapan.

Meski menjadi lokasi pencarian harta karun, lantaran banyaknya kapal dari negara seperti China, Belanda serta Jepang yang tenggelam di wilayah perairan laut Tuban ratusan tahun lalu, namun hingga kini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban tak memiliki data mengenai kapal yang tenggelam lantaran kendala dana.

Penemuan berbagai barang antik milik bangsa China, berupa keramik, milik tentara Tar Tar maupun pedagang China yag kapalnya tenggelam di wilayah tersebut, menjadi bukti bila perairan laut Tuban menyimpan banyak kekayaan yang bernilai tinggi. Hal itulah yang membuat para pemburu harta karun melakukan aktivitas dan kegiatan untuk mencari sisa harta yang sudah terkubur dalam laut.

Tak hanya harta karun, bangkai kapal yang dapat dilihat dengan mata telanjang bila laut tengah surut, kini juga menjadi buruan masyarakat dari luar daerah Tuban. Diduga kegiatan yang mereka lakukan tanpa memiliki ijin dari pihak terkait alias ilegal.

Sementara Dinas Kelautan maupun Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Tuban tidak berupaya untuk mendata kapal yang tenggelam sebagai cagar budaya maupun rumpon (rumah ikan, red) pengganti karang, yng harus dijaga keberadaannya.

Maria, Kasubag Fisik dan Prasarana Bapeda Tuban saat ditemui di kantornya mengakui bila phaknya hingga kini belum memiliki data kapal yang tenggelam di perairan Tuban dan tak mengetahui secara pasti ada berapa titik kapal yang tenggelam di laut Tuban.

“Sementara ini, yang memiliki data kapal tenggelam di laut Tuban hanya Bagian Oceanografi di Jakarta. Kami mau memetakan terkendala masalah dana yang tidak ada,” ujar Maria.

Ditempat terpisah, Letkol Laut B. Gunawan, Kadispotmar Lantamal Surabaya saat dihubungi jurnalberita.com, Selasa (15/3) mengatakan pihaknya serta anggotanya yang bertugas di Tuban hanya bertugas sebatas menjaga keamanan laut Tuban. “Kewenangan masalah itu ada pada  Dinas Kelautan Kabupaten Tuban dan Musium Tuban,” ujar B. Gunawan saat berkunjung di Tuban.

I menuturkan, Dinas Kelautan serta Bagian Museum dan Purbakala Kabupaten Tuban harus sinergis dan mengusulkan ke Kepurbakalaan Jawa Timur, selanjutnya menyampaikan ke pihak TNI AL dan Kepolisian untuk mengamankan bangkai kapal yang sudah menjadi cagar budaya di dasar laut Tuban. “Sehingga kita bisa mengamankan lokasi yang menjadi cagar budaya di perairan laut Tuban dari aksi pencurian,” jelasnya. (jb3/jb2/Jurnalberita)